Five Nights At Freddy's (Episode 14)


Penulis: Scott Cawthon


Mereka tersadar. Ini sudah pagi. Sang Manajer membangunkan mereka, terlihat sedikit panik karena melihat keduanya terbaring seperti habis didorong dengan cara kasar.

"Syukurlah kalian bisa bangun! Kalian tidak apa-apa?!"

Mike mengangguk. "Uhm—ya," John menyentuh kepalanya yang sedikit terasa sakit dan berat. "Hanya saja mimpi tadi seperti nyata,"

"Itu bukan mimpi, itu ingatan mereka, dan juga hasrat mereka," ralat Mike. "Astral Projection?" sahut John. "Mungkin, mereka memperlihatkan semua kejadian di masa lalu dan menuntun kita kembali kemari,"

"Mereka? Para arwah anak kecil itu?" Manajer tampaknya mengerti keadaan yang baru saja dialami kedua anak buahnya itu.

"Ya, mereka menginginkan pembunuh itu, Vincent. Dan—Foxy tampaknya menyesal telah membunuh… temanmu, Manajer," Mike menghela nafasnya.

"S-sudah kuduga, Foxy kesukaanku tidak akan berbuat seperti itu, dia hanya mengira… wajah Jeremy adalah Vincent," Manajer Fritz menunduk, menyembunyikan matanya yang berkaca-kaca.

"Jadi, Vincent saja tidak ditemukan. Bagaimana ini?" John bertanya mengganti topik.

"Yang bisa kulakukan hanya menutup tempat ini, tidak lebih dan tidak kurang. Para wartawan koran juga sudah datang dan akan menyebarkan berita ini,"

.

.

.

Mike memandangi selembar kertas berwarna merah muda. Kertas itu bertuliskan tentang pemecatan anak buah dari sang atasan, alasan yang Manajer tulis benar-benar tidak masuk akal dalam maksud menghibur.

MERUSAK PARA ANIMATRONIC, TIDAK PRORFESIONAL, DAN BAU.

Itu alasan untuk memecatnya.

"Kenang-kenangan yang menarik," Mike terkekeh geli.

.

.

.

Tidakkah kalian heran? Korban pembunuhan berjumlah tujuh anak. Ke lima anak diketahui merasuki Freddy, Bonnie, Chica, Foxy, Marionette, dan Golden Freddy. Lalu bagaimana dengan Balloon Boy dan Mangle? Anak ke tujuh tewas saat restoran yang menyimpan Mangle dan BB itu sendiri. Tentu anak itu tidak masuk ke dalam dua Animatronic itu bukan?

Pernahkah kalian merasa kalau benda mati berbentuk seperti manusia atau tidak, namun benda mati itu sangat disukai anak-anak maupun orang dewasa itu terasa hidup?

Orang-orang akan mengasumsikan bahwa benda mati yang tampak hidup itu hanya halusinasi, khayalan, imajinasi dan sebutan lainnya. Sebagian orang mengatakan tidak, karena kita-lah para manusia yang membuat mereka 'bernyawa.'

Balloon Boy. Dia disenangi oleh anak-anak, karena tawa jenakanya dan tugasnya membagikan balon. Karena dia dianggap ada, dan mengemban tugasnya itu, Balloon Boy seakan hidup. Mungkin ini bisa saja hanya sugesti atau pengaruh bahwa tempat itu sedikit angker, mungkin.

Mangle. Awalnya ia hanya pengganti Foxy dengan wajah lebih ramah—walau gigi taringnya ada. Mangle bertugas menjaga anak-anak, menghibur mereka dengan suara wanita yang lembut—keibuan. Walau dia sering dijadikan mainan untuk anak-anak sampai tubuhnya tak berbentuk lagi. Dia tetap mengemban tugasnya, untuk melindungi. Anak-anak merusak chip suaranya, dan jadilah suaranya ter-distorsi tidak jelas.

Mangle disela-sela suara tak jelasnya itu seakan mengatakan; Ten One. Bagi kepolisian itu adalah kode, kode bahwa 'sinyal' lemah. Dalam arti meminta bantuan. Karena itu Mangle sering datang ke tempat yang berbahaya baginya di saat malam—kantor sang penjaga malam.

Sedangkan Balloon Boy datang bukan untuk memberi sang penjaga malam balon Hidrogennya. Suaranya dapat memanggil Animatronic—yang kerasukan maupun tidak. Tentu karena suaranya sangat natural seperti anak kecil, jadi para Animatronic akan datang padanya jika suasana sepi senyap, dan suara BB menggema dalam gedung itu. Seperti pepatah, ada gula ada semut.

.

.

.

"Kami terjebak, di dalam sini. Hampa. Adakah yang datang untuk menolong kami keluar dari sini?"

.

.

.

"Apa itu? Badut? Hiks—balon udara?"

"Hai!"

Sebuah kue besar muncul di hadapan sang anak yang menangis tersedu.

"Jangan khawatir, aku akan menolongmu!"

.

.

.

"Hiks—tolong..."

"Kau mau kue, Nak?"

"Toy Chica?! Hiks! Kau datang!"

"Aku kemari untuk menolongmu,"

.

.

.

"Hikss—siapa kau?"

"Anak kecil, jangan menangis lagi... kau mau kue?"

.

.

.

"F-Freddy?"

"Huhuh... huhuh... Jangan menangis, nak,"

"A-aku takut! Keluarkan aku dari sini!"

"Tenanglah. Jangan takut. Kemari, ikuti aku~!"

.

.

.

"Huaaaaaa!"

"He-hey, Nak! Jangan takut—"

"HUWAAAAA! BAYANGAN HITAM YANG MENGERIKAN!"

"D-duh... aku kemari untuk menolongmu, Nak,"

"Hiks—be, benarkah?!"

.

.

.

"Kisah kami sudah tersampaikan, didengar banyak orang,"

"Kami dengar semua doa itu,"

"Terima kasih atas doanya yang kalian panjatkan,"

"Itu membuat kami sedikit tenang,"

"Kami akan sangat tenang jika... dia terkena hukuman yang setimpal,"

"Dan akhirnya kami bisa melihat cahaya lagi, terima kasih~!"

.

.

.

"Semua sudah berkumpul?"

"Di hari paling bahagia ini, kita semua telah berkumpul! Senangnya!"

"Rasanya, hati ini lega sekali!"

"Aku tidak takut lagi! Hehe!"

"Aku masih ingin meminta maaf pada Foxy, uuuh,"

"Kurasa Foxy sudah mendengar permintaan maaf kita semua,"

.

.

.

"Ya, akhirnya kami bebas,"

.

.

.

"Jadi mereka menutup total tempat ini? Uh, baguslah! Mereka juga tidak memindahkan Animatronic itu,"

Surai ungunya meneteskan air pelan, angin malam menerpa ditambah hujan yang sedikit lebat itu. Jemarinya cekatan dalam membobol kunci pintu belakang gedung ini. Suara gemuruh petir dan cahaya kilatan menemaninya memasuki gedung tak terurus, gelap dan lembab. Sekitar dua-tiga tahun tempat itu tidak dipakai lagi.

Tak lupa ia tutup rapat-rapat pintu yang baru saja ia buka dengan paksa. Gelap, seluruh ruangan ini gelap gulita, sesekali terang karena kilat yang datang tiba-tiba, sinarnya memasuki celah langsung antara langit dan dalam gedung. Gelap bukan masalah baginya, matanya sudah terbiasa, dan dia sudah tahu denah gedung mungil ini. Karena ia sudah bekerja di sini sebelumnya, ia yang pertama kali berhasil menyelesaikan pekerjaannya selama seminggu di sini, dulu.

Dulu sekali. Menyamar menggunakan nama Alex, dan tentu wajahnya juga ia samarkan.

Tidak ragu lagi ia langkahkan kaki jenjangnya. Melewati beberapa tikus yang mendecit, takut akan kedatangan manusia satu ini. Tetesan hujan yang menerobos atap yang berlubang, jatuh keatas meja yang kotor karena tak terpakai lagi. Masih ada beberapa topi pesta berbentuk kerucut bertebaran di sana.

Ia mendekat, hanya beda satu ruangan dari Show Stage. Namun terlihat tiga Animatronic masih berdiri tegap di sana. Para robot itu tampak usang, berkarat dan tentu tidak ter-urus dengan baik. "Hmph! 'sensor' kalian masih berfungsi, 'kan?!" teriaknya sengaja, membuat gaduh.

Tiba-tiba salah satu ada yang bergerak. Beruang itu perlahan berjalan meninggalkan panggung, dan temannya. Freddy bergerak menghampiri suara tadi. "Ikuti aku!" pinta Vincent yang melangkah dengan cepat ke ruangan dekat pintu keluar itu.

Vincent masuk ke dalam ruangan bekas dapur dari restoran usang itu. Melihat Freddy datang, ia mempersiapkan dirinya.

"Kau mencariku?!"

Vincent dengan mudah menghancurkan Animatronic bertubuh gempal itu. Memakai gergaji mesin. Ia sengaja melakukannya dan memilih senjata itu agar semua Animatronic terbangun dan menghampirinya di sini.

.

.

.

"Maaf, Foxy. Kau yang paling kusuka, namun badanmu pada akhirnya kuhancurkan juga. Kalau saja kalian tidak mengincarku, aku tidak akan repot-repot menyamar dan menyelidiki kalian selama ini,"

"Dan menghancurkan kalian di sini!" lanjutnya sambil tertawa keji.

"Kalau saja kalian meneror orang lain selain diriku! Tentu aku akan senang!" Vincent pun meninggalkan serpihan Animatronic di lantai, membiarkan mereka berserakan seperti daun yang gugur dari pohonnya.

"Selamat tinggal, para bocah polos!" desisnya lalu melangkah ke dalam ruangan sebelahnya, bekas dapur. Di sana ia hendak meletakan mesin gergajinya itu dan membakar sarung tangannya. Namun matanya melihat ada kostum kosong tergeletak di sana, pojok ruangan ini. Kostum lusuh dan compang-camping tak sempurna itu tergeletak tak berdaya. Tercerai berai, tidak utuh. Telinga dari kepala kostum itu tidak sempurna dan tidak simetris lagi, sangat amat usang dimakan waktu.

"Huh? Dia…."

Vincent teringat. Kostum usang yang rusak itu adalah Golden Bonnie. Dulu digunakan pegawainya saat restoran pertama beroperasi, saat dia masih kanak-kanak dulu. Menemani sang Golden Freddy yang isinya robot, Golden Bonnie berisi manusia saat itu. Vincent merasa bernostalgia sesaat.

"Kenapa ada di sini? Bukannya sudah dibuang?" Vincent hendak menyentuh kostum itu. Namun ia melihat samar-samar cahaya putih berbaris menghalangi pintu keluarnya.

"Ugh— apa itu? Siapa kalian?!"

Vincent menatap empat cahaya kecil itu.

"Kami tidak mau melakukan ini lagi!"

"Sudah cukup!"

"Bebaskan kami!"

"Ini semua karena kau!"

Jeritan yang melengking, tangisan memilukan, emosi yang bercampur dendam. Semuanya terasa pada sahutan mereka. Vincent membeku, mukanya pucat walau tak terlihat begitu jelas karena gelap. Ia ingat wajah-wajah samar mereka, para anak-anak yang dibunuh olehnya.

"Aku tidak akan membiarkanmu pergi!"

Satu cahaya datang lagi. Vincent bergidik. "Ke-kenapa kalian—"

Lambat laun cahaya itu sedikit meredup dan menampakan wajah-wajah dan tubuh mereka dengan jelas, sangat jelas. Vincent tidak dapat menahan pekikan memilukannya itu.

"Karena kau menghancurkan 'wadah' kami,"

"Dan yang kami inginkan adalah, KAU!"

"HANYA KAU YANG BISA MENGAKHIRI PENDERITAAN INI!"

"Ti-tidak!" Vincent melangkah mundur. Ia menginjak kaki kostum Golden Bonnie, seketika ia punya ide. Vincent lagi pula tidak menemukan tempat keluar dari sini, selain menerobos mereka. Vincent tidak ingin disentuh oleh mereka, para korbannya yang menghantuinya kini.

Vincent dengan cepat memakai kostum kosong itu. "Minggir, para bocah! Aku berada dalam 'Animatronic' sekarang! Kalian tidak bisa menggapaiku!" Vincent terkekeh.

"Kau kira kami akan tertipu?"

Ke lima anak itu mendekat.

"Hush! Pe-pergi! Ugh—!?"

Vincent merasa perutnya sakit, seperti ada yang menusuknya. Ia menatap nanar kearah anak-anak itu. Mereka tidak terlalu dekat dengannya, dan tidak memegang apapun. Justru ke lima anak kecil itu tersenyum.

"Kau lupa? Korbanmu masih ada satu lagi, Springtrap,"

Vincent terkejut, ditambah rasa sakit yang bertambah secara bertubi-tubi. Sekujur tubuhnya terasa ditusuk benda tajam dari dalam kostum ini. Dari bahu sampai kakinya serasa ditusuk. Lalu wajahnya terasa panas, sangat panas hingga melepuh. Tubuhnya terdesak, seakan sebuah besi tajam menembus kulit dan dagingnya. Mengeluarkan warna merah dan bau anyir keluar dari sela-sela lubang kostum lusuh itu. Darahnya menyatu dengan air hujan yang menetes dari atap yang berlubang.

"Kau ingat sensasi itu? Itu adalah sensasi pisau dan gigi Foxy yang menancap pada tubuh kami! Foxy yang kau sukai!"

"Ugh—akh!"

Sebuah tusukan terakhir menembus dadanya. Membuat Vincent lemas karena kehilangan banyak darah dari dalam tubuhnya. Jantungnya terkoyak, isi perutnya terlihat dari luar, dan hampir keluar kostum. Dengan keadaan sekarat itu, tubuhnya terguncang beberapa kali.

Vincent sadar, bahwa seharusnya ia tidak menghancurkan Animatronic itu. Ide yang ia cetuskan sendiri setelah mengetahui kabar bahwa restoran ini ditutup dan ditinggalkan. Seharusnya ia tidak dibutakan emosinya sejak kecil. Hukum Karma datang padanya, terlambat untuk menyesali segala sesuatu yang telah ia lakukan. Ia yang telah merenggut nyawa-nyawa kecil itu, kehilangan masa depannya.

Matanya menatap dua makhluk putih di depannya. "Tidurlah untuk selama-lamanya," kini Vincent melihat ada tujuh anak di hadapannya, tepat di depan tubuhnya yang sekarat itu.

"Selamat tinggal Kakak—bukan. Vincent,"

Nafasnya berhenti di saat itu juga, setelah melihat cahaya ke tujuh, sesuai jumlah korban yang ia bunuh. Salah satu cahaya itu berasal dari dalam tubuhnya—lebih tepatnya kostum itu.

.

.

.

"Jadi kau yakin ingin bekerja di sana?"

"Tentu! Walau Animatronic sudah dihancurkan, mereka memasang kostumnya di wahana itu, 'kan? Kurasa kita berjaga saja di sana! Heheh!"

"Mungkin saja mereka masih merasuki benda itu?"

John dan Fritz menatap Mike serempak. "Kau terobsesi untuk menyempurnakan jiwa yang penasaran?"

"Jadi Exorcist saja, sana!" John mendengus.

"Aku hanya penasaran saja," Mike mengangkat bahunya.

.

.

.

Bangkai Animatronic yang tersisa dipajang di wahana rumah hantu setempat. Dan mereka bertiga akhirnya menjadi penjaga malam di sana secara bergiliran. Akankah mereka menemukan teror baru lagi?

.

.

.

Sedangkan ketujuh korban itu sudah bisa tersenyum di alam yang berbeda. Kalau saja Fritz tidak menutup tempat itu, mungkin Vincent tidak akan ke sana untuk 'mengakhiri permainan' ini dengan tidak sengaja. Dan kalau saja Fritz tidak membocorkan informasi kepada Mike. Kalau saja Freddy tidak mengagetkan Mike dan John, lalu 'membawa' mereka untuk menemukan pecahan puzzle terakhirnya.

"Akhirnya kita semua berkumpul, benar-benar lengkap!"

"Sudah lama aku menantikan hari ini,"

"Kuharap dia tidak membunuh orang lagi saat berada di dalam kostum itu,"

"Ya, kuharap juga begitu,"

"Untung saja Kakak Mike dan Kakak John bisa kubawa dan melihat kejadian sebenarnya,"

"Itu berbahaya tahu! Jangan kau ulangi lagi!"

"Uh—hiks! Kakak Jeremy maafkan aku,"

Ke tujuh anak kecil mengoceh ceria. Tidak ada rintihan, maupun amarah yang tertinggal di dalam mereka.

"Kalian semua berani bersatu. Aku salut pada kalian! Tidak apa, 'Foxy'. Aku mati pun sudah takdir. Sama, kita semua di sini juga sudah takdir,"

.

.

.

THE END?

Five Nights At Freddy's (Episode 13)


Penulis: Scott Cawthon


Seperti biasa, yang menghampirinya adalah sang Manajer. Menanyakan keadaannya lalu memberitahukan kabar.

"Kabar baiknya, besok kami ada acara—yang mungkin terakhir kali sebelum tempat ini ditutup. Jadi, kami masih membutuhkanmu malam ini. Ini gajimu,"

Manajer memberikan amplop kepada Mike.

.

.

.

Kakak-beradik kembar itu murung. Tentu karena tempat kerja mereka di ujung tanduk kehancuran.

"Padahal aku suka bekerja di sini, memang sepi namun menyenangkan juga," John mengutarakan duluan. Mereka masih ada di dalam restoran tempat mereka bekerja sebenarnya.

"Ya, aku juga. Aku belum bisa membantu mereka terbebas dari dalam robot itu,"

"Ha? Maksudmu Animatronic?"

Mike menepuk jidatnya. "Bukan! Bukan, kok!" sanggahnya.

"Kau buruk sekali dalam berbohong, sudah kuduga dari awal kau berbohong!" umpat sang adik. "Lagi pula aku sedikit tahu dari para pegawai sini. Memang benar, Animatronic itu seakan kerasukan. Di saat aku bekerja, mereka yang sedang bernyanyi tiba-tiba mengeluarkan suara seperti tangisan. Membuat kami dan para konsumen merinding saja," cerita John.

"Padahal para teknisi sudah sangat yakin mereka tidak rusak. Mereka juga sudah membetulkan tubuh para Animatronic," tambah John.

Mike teringat, foto-foto yang Manajer berikan dalam buku itu. Chica yang tidak punya tangan, kedua tangannya putus. Kini sudah tampak seperti baru lagi. Freddy yang sedikit lecet dan usang, kini sudah lebih bagus dan mulus. Bonnie yang paling parah sekalipun saat itu—tidak ada wajah dan tangan kirinya. Kini sudah bagus—walau Mike tetap saja tidak menyukai Bonnie.

Foxy, telinganya kini sudah sempurna. Walau celananya masih lusuh dan sobek, dadanya juga sobek dan memperlihatkan Endoskeleton di dalamnya. Mungkin karena Foxy tidak dipakai, mereka tidak membetulkan seluruhnya.

"Mereka hanya korban pembunuhan dari pegawai di sini, menurutku," Mike akhirnya berbicara juga.

"Siapa yang dibunuh?" adiknya penasaran. "Para anak kecil yang suka datang kemari. Ironis, ya?" Mike mengacak rambutnya sendiri. John hanya berdehem ria menanggapi itu.

"Kurasa, mereka mencari pembunuhnya. Karena itu malam-malam mereka bertingkah aneh. Kasihan mereka," lanjut Mike sembari memandang trio yang berdiri di panggung sana. John menyenderkan tubuhnya pada tembok, mengikuti kakaknya.

"Oh, iya! Sudah saatnya kau pulang, hush!" Mike mengusir adiknya. "Cerewet, kau!" umpat sang adik kesal karena baru saja ia bersandar pada tembok di belakangnya.

"Hey, kalian si kembar!" sapa Manajer.

"Oh, Manajer," mereka serempak membalas, lalu sedetik kemudian mereka saling menatap kesal satu sama lain. "Ahaha, kalian benar-benar kompak,"

"Manajer, boleh aku bekerja malam? Menjadi penjaga malam, menemani kakakku yang ceroboh ini," seketika itu Mike langsung menjitak kepala adiknya. "Tidak! Kau pulang saja, sana!"

"Aduh—enak saja!" John mendengus kesal.

"Sudah-sudah, terserah kalian saja, lagi pula besok terakhir kita beroperasi," Manajer tersenyum lirih. Membuat anak kembar itu tidak berani meneruskan kelahinya.

"Besok aku akan memecat kalian semua, tentu dengan pesangon juga. Jangan kaget, ya? Aku akan menuliskan hal konyol yang kuisi di kolom alasan untuk memecat kalian semua. Itu karena aku dan temanku pernah mengalaminya—bukan bermaksud balas dendam, mungkin bisa jadi kenang-kenangan,"

"Tidak apa, Manajer. Kami juga paham keadaannya,"

"Ya, maaf kalian hanya bekerja kurang dari seminggu. Padahal aku ingin memperpanjang kontrak," ujar Manajer. "Aku yakin kita akan bertemu lagi, kok!"

.

.

.

"Pokoknya jangan ceroboh! Kau harus sigap menutup pintu jika ada yang datang, dan pastikan kau memeriksa kejanggalan lainnya,"

"Iya, dasar cerewet!"

Anak kembar sedang asik berdebat. Mereka tidak duduk di kursi terkutuk itu—bukan karena hanya ada satu kursi. Tapi, mereka harus bisa bergerak—walau kenyataannya mereka tidak bisa melangkah keluar kantor. Kalau mereka keluar kantor pun, terasa percuma saja.

"Seperti ada sihir, ya? Atau jampi-jampi. Seakan kita tidak bisa pergi kemana pun," John bersua.

Selama mereka berjaga, Mike menceritakan beberapa hal yang ia ketahui, sembari sang adik memeriksa ruangan yang sudah dijelaskan Mike sebelumnya.

"Ya, aku juga curiga kepada Vincent. Kurasa dia dalangnya," John menyeruput kopi dalam gelas plastik itu. "Kita tidak punya bukti kuat kalau dia pelakunya! Tapi, polisi juga mencarinya. Dia menghilang soalnya—HEY! itu kopiku!"

"AAAAAAH! CHICA!" teriak John seperti anak kecil, membuat sang kakak kaget. "Pintunya—bodoh!" Mike berhasil menekan tombol merah untuk pintu kanannya itu.

Seperti itulah mereka. Sering berdebat, lalu ada Animatronic yang muncul saja, mereka langsung bekerja sama dengan kompak.

.

.

.

"Sial, baru saja jam empat pagi, daya sudah terpakai sebanyak ini," Mike mengomel.

"Tapi, menyenangkan juga jaga malam bersamamu," lanjutnya.

"Apa itu pernyataan sayangmu, kak?" John tertawa geli. "Aku menyesal mengucapkan kalimat tadi,"

Suasana memang tidak mencekam setidaknya. Karena sang adik yang tidak kalah hebohnya dengan si kakak. Dan juga mereka yang kompak.

Terkadang John tertawa melihat wajah Chica yang muncul di kamera maupun jendela. "Aku baru sadar, kalau ayam punya gigi!" pekiknya geli. Mike langsung menjitak kepala adiknya itu. "Kau akan digigit olehnya kalau terus tertawa seperti itu,"

Jam menunjukan pukul lima pagi pun mereka masih heboh. Entah karena mereka berdua memang aneh atau ada hal lain. Yang penting mereka yakin bisa melewatinya sampai jam enam nanti.

Bang! Bang! Bang! Bang!

"Ya? Foxy? Kau ingin bermain?" balas John. "Sepertinya tidak, dia sudah pergi," canda sang adik.

Mereka terus seperti itu saat satu persatu Animatronic mendatanginya.

.

.

.

Kini daya sudah berkedip-kedip.

Namun Mike sudah melihat Foxy berlari di lorong sana. "Oh—sial!"

Mike tak sempat menutup pintu.

John dan Mike kira ini akhir mereka. Tidak ada canda tawa lagi. Tidak ada perdebatan lagi yang biasa mereka buat.

Detik terakhir Foxy melangkahkan kakinya ke dalam kantor. Lampu mati, gelap gulita. Nafas anak kembar tercekat, tertahan. Karena ia mengira Foxy akan masuk dan menggigit mereka. Nyatanya tidak, Foxy sudah terlihat di ambang pintu tadi, namun saat lampu mati dia menghilang.

"Eh?!"

"Sssst! Pura-pura mati!" desis sang kakak merangkul sang adik.

John dengan cepat mengangguk. Mereka diam, memang tidak ada lagi canda tawa sekarang. Tubuh mereka sama-sama berkeringat dingin saat melihat sepasang mata muncul di pintu kiri bekas Foxy ingin memasuki ruangan.

Mereka berdua tentu mengenal sepasang mata itu. Freddy.

Jingle yang sama terdengar. Mike berpikir bahwa itulah lagu dari Freddy.

"Ini lagu Freddy, dia sering memainkan lagu ini," bisik sang adik. Membuat firasat kakaknya itu benar. 'Berarti, orang yang mengirim pesan itu diserang oleh Foxy? Lalu Freddy?' pikir Mike.

Denting lagu itu masih terdengar, nyaring. Mike menelan ludahnya, ia tidak sempat melihat jam berapa tadi. Kalau sebentar lagi jam enam pagi, mereka bisa selamat. Karena disaat jam enam datang, mereka menghilang dan kembali ke tempat masing-masing.

Jika jam enam masih lama. Entah apa yang akan terjadi pada mereka.

"AAAAAA!"

Mike tidak tahu apa yang telah terjadi. Begitu pula dengan John. Mereka berdua hanya mendengar suara teriakan yang memekakkan telinga. Teriakan itu cukup panjang dan memilukan siapapun yang mendengarnya.

.

.

.

"Hey! Kita datang ke tempat Foxy, yuk?"

"Ya! Aku mau memeluknya!"

"Aku ingin mengambil hook-nya!"

"Kau akan merusaknya kalau begitu! Ahaha!"

"…. Aku ingin bermain dengannya,"

Lima anak itu berbondong-bondong memasuki ruangan itu. Meminta kepada sang penjaga untuk menyalakan Foxy. Ke lima anak kecil itu sangat riang, dan sangat suka bermain dengan Foxy. Walau terkadang mereka tidak sengaja merusak bagian tubuh Foxy—seperti merobek celananya atau dadanya.

"Aaah, maaf Foxy," salah satu anak bersedih walau itu bukan ulahnya. Mereka berlima hanya ada dua perempuan. Sisanya laki-laki. Kedua perempuan itu suka memeluk Foxy. Dua laki-laki lainnya tidak mau diam dan suka menaiki Foxy. Sedangkan laki-laki yang terakhir begitu pendiam.

Sering sekali mereka dimarahi oleh penjaga Foxy. Sampai sang penjaga murka dan hampir memukul mereka. Namun Manajer mencegahnya.

"Hey, teman-teman. Sebaiknya kita jangan nakal lagi. Kalau mereka tidak mengizinkan kita bermain dengan Foxy lagi, bagaimana?" salah satu anak perempuan berbicara. Wajahnya sedih.

"Uhh—iya, deh. Maaf," anak yang terbilang paling nakal itu akhirnya meminta maaf. "Besok minta maaf pada Foxy juga, walau kau sering menjahilinya, dia tetap tersenyum padamu, 'kan?"

"Dia robot! Mana bisa tersenyum!"

"Foxy dan yang lainnya punya hati! Dasar, anak laki-laki payah!"

Mereka berlima memang suka berdebat. Layaknya John dan Mike. Anak-anak tersebut sudah berteman sejak lama. Selalu berlima ke mana-mana, lima sekawan.

"Ya, aku setuju. Robot juga punya perasaan," anak yang paling pendiam sekalipun bersua. Membuat yang lain termenung. "Baiklah! Besok kita ke sana lagi,"

.

.

.

"Uh, hey, bocah-bocah! Kalian ingin melihat Foxy sang bajak laut?" sang penjaga bertanya.

"Ya!"

"Cepat keluarkan dia, dasar pemalas!"

"Aku ingin menendang Foxy!"

Anak kecil, sebenarnya mereka hanya bercanda. Mereka hanya ingin bermain dengan Foxy. Sayangnya sore itu. Sang penjaga Foxy telah merencanakan semuanya. Tidak disangka sang penjaga mampu mengambil kontrol tubuh anak-anak.

Dan dengan mudah sang penjaga membunuh ke empat anak itu di tempat. Satu anak masih selamat, karena ia tidak terluka di bagian vitalnya. Anak itu seakan bermain 'pura-pura mati'.

"Ironis bukan? Mereka yang ingin meminta maaf pada Foxy, justru dibunuh oleh sang penjaga dengan giginya Foxy?"

Tak hanya itu. Jantung mereka dimasukan ke dalam Animatronic. Anak yang sekarat sekalipun, akhirnya terbunuh secara brutal.

"Dia yang membuat 'permainan' ini. Kami tidak bisa tenang. Kami ingin waktu itu kembali lagi!"

"Arwah kami terjebak. Tolong!"

"Aku ingin pulang!"

"Dia menyalahgunakan kekuatannya. Aku tidak ingin seperti ini! Aku tidak ingin meneror kakak-kakak semua! AKU TIDAK INGIN MEMBUNUH KAKAK YANG TAK BERSALAH ITU JIKA AKU TAHU KALAU DIA BUKANLAH PEMBUNUH KAMI!"

"…. Adakah cara agar kami bebas? Maukah kau menolong kami?"

Tentu. Adakah caranya?

"Kami ingin, PEMBUNUH KAMI MERASAKAN HAL YANG SAMA DENGAN PENDERITAAN KAMI,"

Five Nights At Freedy's (Episode 12)


Penulis: Scott Cawthon


"Kurasa Vincent patut dicurigai," Mike bersuara. "Ya, dia menghilang entah kemana setelah kejadian enam tahun silam. Temanku dulu sangat menjunjung Vincent, sampai ia membelanya. Tidak tahunya, ia berbahaya. Kalau aku bertemu dengannya, ingin sekali memukul wajahnya,"

Mike rasa bukan saatnya untuk tertawa geli karena ucapan atasannya itu.

"Oh, iya, Manajer. Apa yang terjadi pada penjaga yang berhasil itu? Di malam ke empatku, dalam rekamannya dia seperti… diganggu Animatronic. Bukankah dia berhasil?"

Mike hampir lupa soal rekaman semalam.

"Dia baik-baik saja, kok! Tidak terluka sama sekali,"

'Mungkin dia sejak awal memberi rekaman itu untuk menakut-nakuti? Mungkin,' pikir Mike. "Dia itu sudah berumur atau masih muda?" Mike bertanya tentang Alex itu.

"Hm, kurasa…. Lebih tua sedikit dari pada aku. Kau dan aku tentu tidak beda jauh umurnya, dia juga,"

"Apa Manajer tahu alamatnya?" tanya Mike sekali lagi.

"Tidak, dia sudah pindah. Setidaknya itu yang teman-temannya bilang. Dia sendiri juga bilang seperti itu saat seminggu setelah ia bekerja di sini—dan aku punya kabar buruk, Mike," tiba-tiba Manajer memasang ekspresi serius.

"Ada apa?"

"Pendapatan restoran menurun tajam. Jika tetap seperti ini terus, aku tidak bisa melanjutkannya," Manajer Fritz menghela nafasnya.

"Oh—sayang sekali, jadi bagaimana nasib Animatronic? Dan bangunan ini?"

"Terpaksa kita tinggalkan dan tutup rapat-rapat dari luar. Aku merasa sangat sedih kepada roh-roh kecil yang terjebak itu. Merasa bersalah juga karena tidak dapat membantu mereka,"

.

.

.

Malam ke lima. Mike masih bisa mendengar dering telepon itu.

"Dia masih mengirim pesan—?"

Mike bergidik. Buku kuduknya berdiri mendengar isi pesan itu dari telepon. Seperti suara orang berbicara namun suaranya itu seakan berat dan tidak jelas sama sekali. Mike langsung menutup pesan itu. Dia tidak mau terbawa suasana seram dalam pesan yang ia terima. "Benar-benar, deh. Alex sepertinya iseng merekam seperti itu dan menakuti penjaga malam,"

Sudah jam dua belas malam, Mike sudah sigap melihat dua ruangan. Dia tidak ingin hal yang buruk terjadi. Mike kali ini membawa bekal berupa kopi dan makanan ringan berupa kripik kentang pedas. Dia pikir keduanya bisa mengusir kantuk kelak.

Sembari ngemil, Mike menunggu sekitar lima menit untuk melihat kembali Show Stage. Kosong, tidak ada apa-apa kecuali hiasan bintang-bintang dan bulan yang berkilau sedikit, menggantung di sana.

"Hey—ini baru jam dua belas malam lebih! Ke mana mereka?" Mike mendengus kesal. Dia hanya bisa memeriksa Pirate Cove—tidak bosan-bosannya. Dan lampu kiri-kanannya. Mike tidak terlalu takut pada Foxy, kalau saja ia sudah melihat Foxy dalam posisi ke tiga—alias ingin berlari itu sudah bukan ancaman besar. Asal kita tutup pintu kiri terlebih dahulu sebelum memeriksa lorong kirinya.

Mike juga sudah hafal siapa saja yang muncul pada pintu kirinya. Hanya Foxy dan Bonnie. Dan pintu kanannya Chica—dan kemungkinan Freddy.

"Belum datang satupun," gumamnya sembari mengunyah kripik kentang itu. "Uh, pedas!" Mike terlalu banyak makan kripik dalam satu waktu. Membuat ia hampir tersedak bumbu cabainya. Buru-buru ia mengambil kopinya. Namun suara langkah terdengar di dekat pintu kirinya.

Mike tanpa pikir panjang menutup pintu kirinya dan meminum kopinya dengan tenang. Dia tidak mau menyiramkan kopi ini kepada Animatronic yang menyelonong masuk kelak. Dia tidak mau kepedesan terus seperti ini.

"Fuuuuh," Mike merasa baikan dan panas pada dalam mulutnya berkurang. Mike membuka pintu kiri dan menyalakan lampu tersebut.

"WHAAAAAA!"

Mike kaget namun tangannya memencet tombol untuk menutup pintu kirinya. Dia salah langkah, namun untung saja tidak terjadi apa-apa. Seharusnya Mike menyalakan lampu untuk mengetahui ada siapa di sana. Nyatanya ia disambut wajah Bonnie yang menyebalkan itu.

Hampir dua menit Bonnie ada di sana. Mike mulai kesal akan sikap Bonnie yang sangat suka menunggunya itu. "Bonnie, kau sangat ingin bermain, rupanya. Kau pasti anak yang tidak mau diam seperti Foxy, 'kan?" celetuk Mike.

Lalu bayangan Bonnie menghilang. "Uh? Apa aku mengatakan hal yang salah?" Mike menggaruk kepalanya walau tidak gatal.

Mike kembali berkonsentrasi. Memeriksa pintu sampingnya dan memeriksa Foxy. Masih aman sampai jam satu pagi datang. "Tidak biasanya," Mike mengunyah kripik kentang pedasnya. Mike merasa malam ini sedikit sunyi. Foxy belum bernyanyi, suara-suara aneh dari Chica maupun Bonnie yang tertangkap kamera tidak ada. Dan tentunya suara dari dapur sana tidak terdengar sesering kemarin.

Mike kembali melihat Show Stage. Alangkah terkejutnya dia melihat tiga Animatronic ada di situ lagi, mereka 'pulang'. "Aneh," gumam Mike.

Terkadang jika Bonnie dan Chica benar-benar dekat dengan kamera, seperti halnya kamera di pojok lorong dekat dengan pintunya itu. Mike dapat mendengar suara aneh, seperti anak kecil menangis, merintih. Mike merasa sedih mendengar suara itu, sekaligus ngeri ketika melihat kepala Bonnie maupun Chica yang sedikit berguncang tak karuan di depan kamera.

"Malam ke lima ini, cukup aneh. Kukira mereka akan lebih aktif lagi,"

West Hall, Mike menemukan hal yang aneh pada tempat itu dari kamera pengintainya. Sebuah poster yang harusnya ada wajah Freddy, sekarang berganti warna menjadi kuning-keemasan. Sedetik kemudian suara tawa anak perempuan menggema. Mike mematikan televisinya sebentar, karena televisi itu tidak mau menampakan keadaan sekitar.

"Pasti tadi hanya halusinasi," gumamnya. Matanya ia istirahatkan sekejap lalu menatap ke depan. Jantungnya terasa berhenti sedetik. Iris-nya menangkap sosok kuning yang terduduk lemas. Matanya hampa, gelap gulita.

"Wha—"

Sosok itu menghilang. "Ha-halusinasi lagi?!" Mike bergidik lalu dengan sigap menyinari lorongnya. Ia tidak mau ada yang masuk ke dalam kantornya ini.

Wajah 'gembira' Chica terlihat di jendela kanan. Mike segera menutup pintu itu. "Apa tadi? Seperti Freddy tapi kuning? Seperti yang ada pada poster tadi di pojok sana," Mike buru-buru memeriksa poster itu lagi, namun yang tampak hanya Freddy biasa berwarna coklat. "Aneh,"

Mike tidak beranggapan Freddy yang tadi itu sering bermain di tempat kotor karena warnanya—tidak. Halusinasi tadi membuat Mike lebih waspada, lalu melihat Pirate Cove yang ternyata Foxy sudah ada di posisi terakhir. Lalu Mike sempat-sempatnya melihat Show Stage sekali lagi. Mereka bertiga tidak ada di sana.

"O-ow, gawat!"

Mike menutup pintu kirinya, menyinari lorong kanannya. Chica sudah tidak ada. Kesempatan untuk menghemat daya, Mike membuka pintu kanannya.

.

.

.

Satu jam berlalu tanpa terasa, Mike saja baru sadar jika ini sudah jam dua dini hari. Ia terlalu sibuk untu menutup pintu dan menyalakan lampu. Sudah berkali-kali Bonnie datang, Foxy menggedor pintunya, dan Chica yang muncul di jendela. Tidak bosan mereka meneror sang penjaga malam itu.

"Sudah kuduga malam ini mereka lebih aktif lagi. Untung saja aku terbiasa dengan pola jalan mereka," Mike mensyukuri bakatnya, mungkin.

Mike selama diteror tentu ia merasa terancam. Tapi sungguh, ia baru ingat ada telepon di sini. Manajer juga pernah bilang kalau ada apa-apa telepon saja dirinya. Mike menepuk jidatnya sendiri. Ia mengangkat gagang telepon itu dan terdiam.

Tidak ada suara dari telepon itu. Juga ketika ia menekan tombol-tombolnya. "RUSAK?!" ingin rasanya Mike membanting telepon itu, namun ia urungkan. Akan terkena potongan gaji kalau ia benar-benar membanting telepon itu.

Mike kembali fokus pada pekerjaannya. Toh, ia yakin tidak akan terjadi apa-apa selama ia sigap menutup pintu-pintu itu.

.

.

.

Di saat menuju jam tiga pagi, Animatronic tidak terlalu aktif lagi. Seakan memberi nafas pada penjaga malam itu. "Seakan-akan aku dipermainkan," Mike terus berkomentar.

"Ya, karena kalian anak kecil. Aku maklumi itu," timpalnya. Tak terasa kripik pedasnya habis, tapi kopinya masih ada. Mike tidak akan tahan kalau keduanya habis. Dan kursi itu tidak akan membiarkan Mike pergi, lagi pula.

Menjelang jam lima pagi, udara mulai dingin menusuk tulang. Mike merasa sedikit menggigil. Kipas ia matikan, dia tidak mau masuk angin. "Kenapa seperti musim dingin begini? Kurasa belum waktunya,"

"Huuuf, tinggal satu jam lagi," Mike merasa tangannya gemetar, hidung dan telinganya dingin. Tidak ada waktu untuk menghangatkan dirinya sendiri. Ia masih fokus pada sekitarnya dan para Animatronic. Mike tahu kalau daya yang tersisa tidaklah banyak.

Mike tidak tahu apakah daya yang tersisa cukup untuk bertahan dari Animatronic atau tidak. Ia hanya bisa berdoa. Ia dapat melihat poster yang ada di lorong kirinya lewat kamera. Poster itu berupa Freddy yang tersenyum awalnya. Kini tidak seperti itu. Seakan Freddy ingin melepas kepalanya.

"Huhuh, huhuhuh"

Suara tawa yang berat, ia kenal suara itu. Mike langsung menyalakan lampu lorong bergantian. Beberapa menit kemudian suara Foxy bersenandung muncul.

Mike terpaksa melihat Pirate Cove untuk jaga-jaga. Yang benar saja, tirainya sudah terbuka lebar dan tidak ada siapa-siapa. Mike menutup pintu kirinya. Dan terdengarlah Foxy mengetuk pintu itu dengan tangan besinya.

"Sial, dayanya hampir habis!" umpat Mike. Lalu menyalakan lampu sebelum membuka pintu itu adalah cara terbaik. Dan benar saja ada bayangan Bonnie ada di situ.

"Si—oh, Bonnie…." desah Mike pasrah.

Bonnie selalu mengganggunya. Bonnie hobi sekali diam lama-lama di depan pintu itu, seakan menunggu pintu itu terbuka untuknya. Dia yang selalu menghabiskan daya lebih.

Sampai indikator daya berkedip-kedip di televisi. Itulah di saat daya benar-benar sekarat. Bonnie sudah tidak ada di situ, Mike langsung membuka pintu tanpa khawatir namun pasrah.

Padahal sebentar lagi jam enam pagi.

Mike pasrah, terlebih daya listrik perbekalannya sudah habis. Kini ruangannya gelap gulita. Tidak ada yang bisa Mike lakukan lagi selain diam menunggu ada yang memasuki kantornya.

Terdengar jingle lagu yang pernah ia dengar sebelumnya. Jingle ini ada pada rekaman pesan itu di hari kemarin. Cukup lama jingle ini berdentang. Mike tidak dapat melihat jam berapa sekarang.

Matanya hanya dapat melihat sepasang mata di pintu kiri. Mata itu seolah berkedip, saling beradu tatap dengan pria penjaga malam itu. Mike tercekat, nafasnya ia tahan.

"Pura-pura mati!"

Ia ingat apa yang dikatakan orang itu dalam pesannya.

Mike pura-pura lemas seakan tidak bernyawa.

Lalu sepasang mata itu menghilang. Digantikan dengan cahaya sinar mentari yang datang. Denting jam bersorak menggema keseluruh ruangan, menandakan jam enam pagi telah tiba.

Five Nights At Freddy's (Episode 11)


Penulis: Scott Cawthon


Telepon kembali berdering tiga kali, Mike menerima pesan itu.

"Hallo, hallo? Hey! Hey, wow, hari ke empat. Aku tahu kau bisa melakukannya. Uh, hei, dengar, aku mungkin tidak ada di sekitar untuk mengirimkan pesan untukmu besok."

Terdengar suara berisik dari pesan itu, membuat Mike mengernyitkan alisnya.

"Ini—malam yang buruk di sini bagi saya. Um, aku—aku agak senang bahwa saya merekam pesan untukmu, ehmmm, eh, ketika aku, uh, hei, tolonglah aku."

Ada suara ketukan atau lebih tepat seseorang mengetuk pintu.

"Mungkin kapan-kapan, uh, kau bisa memeriksa di dalam pakaian mereka di ruang belakang?"

Suara ketukan itu ada lagi.

"Aku akan mencoba untuk bertahan sampai seseorang mengecek. Mungkin tidak akan begitu buruk."

Ketukan itu masih ada. Mike masih belum tahu apa maksud dari pengirim pesan.

"Uh, a—a—a—a—aku selalu bertanya-tanya apa yang ada di dalam semua kepala kosong di belakang sana."

Tiba-tiba ada jingle lagu terdengar, sangat familiar.

"Kau tahu..."

Terdengar jelas ada suara erangan aneh.

"Oh, tidak—"

Pesan berakhir dengan bunyi aneh, seperti suara Animatronic rusak dan bunyi-bunyi statik.

Mike bergidik sesaat. "Apa yang terjadi padanya? Bukannya dia berhasil menyelesaikan pekerjaannya?"

Mike heran bukan main. Ia pun melanjutkan pekerjaannya untuk berjaga-jaga.

.

.

.

Mike mendapat sekelebat halusinasi berupa tulisan 'IT'S ME' dan wajah Freddy yang sedang menatapnya. "Uh, apa tadi?" Mike merasa kepalanya pusing.

Namun ia tetap mengerjakan tugasnya. Mengecek dan terus mengecek. Ia tidak mau Foxy berlari ke dalam kantornya, atau Bonnie yang datang di pintu kirinya, dan Chica yang datang dari kanannya.

Yang Mike tahu seperti itu, namun pergerakan Freddy belum ia ketahui. Malam kemarin di saat jam lima pagi Freddy baru keluar dari Show Stage. Lalu tidak ditemukan di manapun. Mike khawatir karena Freddy tampaknya licik.

Satu jam pertama, Mike tidak menemukan tanda-tanda yang mencurigakan. Semua masih pada tempatnya. "Mereka arwah anak-anak yang terjebak, bagaimana caranya agar bisa kutolong?"

Terdengar suara Foxy mengalun. Mike melihat tirai Foxy sedikit terbuka. Lalu melihat keadaan Show Stage. Mereka bertiga masih di sana dan tidak melihat kearah kamera. Mike terdiam, lalu menatap kamera 1C.

Tirai Foxy terbuka, tidak lebar. Foxy masih setengah badan keluar dari tempat itu. Mike menatap kamera itu terus menerus. Lalu tiba-tiba gelap. "Whoa? Kenapa ini?" Mike mematikan televisinya sebentar lalu menyalakannya lagi, Foxy masih dalam posisi tadi, namun Show Stage hanya menampakan Freddy.

"Dua langsung hilang?"

Mike melihat Pirate Cove lagi, Foxy sudah berganti posisi. Posisi yang Mike tiru kemarin. "Kau akan berlari, huh?" Mike menyalakan lampu pada kiri dan kanannya.

"Chica!" Mike sigap menutup pintu kanannya. "Kau mengagetkanku saja," Mike menyalakan lampu untuk menerangi lorong kanannya. Chica sudah tidak ada.

"Cepat sekali dia menghilang. Seperti ninja saja,"

Mike membuka pintu kanannya, namun menutup pintu kirinya.

Mike melihat tempat Foxy berada. Tirai terbuka lebar, dan tulisan itu berubah menjadi 'IT'S ME' seperti kemarin. Mike melihat lorong bagian kiri, lagi-lagi Foxy berlari di lorong itu. Larinya sangat cepat dan derap langkahnya terdengar jelas.

Mike tentu mendengar ketukan pintu sebanyak empat kali. Sedikit mirip dengan ketukan pintu yang terdengar pada pesan tadi. "Apa dia diserang Foxy?" Mike bertanya tanpa ada yang menjawab lalu membuka pintu kanannya dan menekan lampunya.

"WAAAAH!"

Mike menutup pintu itu lagi. "Bonnie!" teriaknya. "Kau membuatku jantungan dengan wajahmu itu!" Mike memang seperti itu, tak ragu mengutarakan apa yang dirasa.

"Maaf aku meneriakimu—kau memang mengagetkanku," Mike mendesis. Tak henti-hentinya ia menyalakan lampu bagian kirinya. Bayangan masih ada di sana.

Hampir satu menit Bonnie berdiam diri di situ.

"Uuuuuh, Bonnie," erang Mike pelan. "Kumohooooon, Bonnie~!" Mike tak tahan lagi. Dan bayangan itu hilang. Mike tak mau Foxy datang saat ia membuka pintu kiri ini. Mike harus melihat Pirate Cove terlebih dahulu sebelum membuka pintu.

"Uh, oke, aman,"

.

.

.

Selama satu jam yang lalu Mike mendapat teror yang menegangkan. Bonnie terus datang hampir setiap lima belas menit sekali. Membuat daya yang digunakan lebih banyak. Chica juga tak absen dari memunculkan wajahnya di sana. Foxy bisa datang setiap tiga puluh menit sekali.

Freddy? Dia baru saja hilang dari Show stage. "Bagus!" Mike bersungut, kesal sedikit karena mereka tampaknya sengaja melakukan ini agar daya yang Mike gunakan cepat habis.

Kini Mike hanya fokus pada pintu kiri dan kanannya seperti biasa, dan melihat tempat Foxy hanya beberapa kali. Lebih baik melihat siapa yang datang dari pada terlalu fokus untuk mencari mereka.

Jika Mike ingin melihat Foxy, Mike menutup pintu kanannya setelah menyinari kedua lorongnya. Insting Mike menyuruhnya seperti itu agar Freddy tidak masuk, mungkin. Karena hanya Freddy yang jarang terlihat jika dia telah hilang dari kamera.

Mike mulai berkeringat, jantungnya berdegup kencang. Sangat kecang jika ada yang muncul didekatnya, sampai bisa mendengar detaknya sendiri.

"Apa yang kalian cari sebenarnya?" Mike bergumam sendiri. "Pembunuh kalian-kah?"

.

.

.

"Mike!"

Suara Manajer membangunkannya. "Huh?" Mike dengan tampang baru bangunnya itu dengan reflek mengusap sekitar mulutnya. "Kau ketiduran? Kau tidak apa-apa, 'kan?"

Mike langsung bangun dan mengecek dirinya sendiri dari ujung keujung. Tubuhnya masih utuh. "Uh, aku tidak apa-apa—aku ketiduran, ya!?" Mike sedikit panik.

"Entahlah, saat aku kemari kau sudah mendengkur seperti itu,"

"Oh, aku ingat! Aku berhasil melewati sampai jam enam pagi—tapi langsung ketiduran. Karena malam tadi para Animatronic bergerak semua. Dan daya yang Manajer beri hampir habis,"

"Syukurlah kau tidak kenapa-kenapa. Oke, ini berapa? Dan sebutkan namaku siapa?" Manajer mengacungkan tiga jarinya di depan wajah Mike. "Tiga? Manajer Fritz?"

"Oke, kau sehat,"

.

.

.

Mike lanjut membaca buku yang diberi oleh Manajernya. Kini tentang orang bernama Vincent itu. Ia merupakan anak dari pendiri restoran paling pertama. Karena ada insiden anak kecil yang merupakan anak angkat dari pemilik restoran itu terbunuh tepat di depan Fred Bear's Familiy Diner , tempat itu ditutup. Pembunuh tidak diketahui, lalu usahanya di jual kepada orang lain.

Lalu Vincent bekerja pada restoran itu di saat ada insiden lima anak kecil menghilang. Lagi-lagi restoran ditutup. Lalu Vincent menyamar, berpenampilan sedikit berumur dan bekerja pada restoran yang enam tahun lalu ditutup itu. Tidak tahu apa tujuannya namun ia berkemungkinan menyebabkan Jeremy dan dirinya tertukar.

"Cukup berbelit dan rumit. Hm," Mike memijit dagunya.

Mike cukup mengerti alurnya dan juga paham teka-teki ini. Walau tidak tahu pelaku sebenarnya. Mike berasumsi bahwa pelaku di balik ini hanya ada satu. Dan ia merasa Vincent orang yang paling mencurigakan. Vincent juga masuk dalam daftar dicari oleh polisi. Setiap ada insiden yang janggal, Vincent ada di situ.

.

.

.

"Kau sudah membacanya semua?" Manajer mengambil buku yang dikembalikan oleh Mike. "Ya, aku mengerti sedikit,"

Manajer mengangguk puas. "Menurutmu, bagaimana kita akan bergerak? Maksudku dalam mengatasi Animatronic,"

"Ah, aku kurang yakin. Karena aku tidak bisa berbicara dengan arwah atau apapun itu. Kalau pun bisa aku akan menyusun rencana," Mike mengangkat bahunya. "Kau benar, tapi orang-orang yang punya indra keenam tidak mau membantu kami. Ia bilang mereka terlalu kuat,"

"Hm, kuat? Rasa dendamnya?"

Manajer mengangguk. "Sekalipun para korban itu anak-anak. Mereka pasti bisa dendam juga,"

Five Nights At Freedy's (Episode 10)


Penulis: Scott Cawthon


KRIIING

KRIIING

KRIIING

Lamunan Mike buyar karena dering telepon itu.

"Hallo, hallo? Hey, kau hebat! Kebanyakan orang tidak bertahan selama ini. Maksudku, kau tahu, mereka biasanya beralih ke hal-hal lain sekarang. Aku tidak menyiratkan bahwa mereka meninggal. B-bu-bukan itu yang saya maksudkan. Uh, toh saya lebih baik tidak menyia-nyiakan waktumu. Malam ini akan menjadi malam sesungguhnya,"

Mike teringat apa yang dikatakan Manajernya.

"Uh... Hei, dengar, saya punya ide: jika kau kebetulan tertangkap dan ingin menghindari dimasukkan ke dalam Freddy, uhh, cobalah berpura-pura mati! Kau tahu, lemas. Lalu ada kemungkinan bahwa, uh, mungkin mereka akan berpikir bahwa kau adalah kostum yang kosong sebagai gantinya. Kemudian lagi jika mereka berpikir kau ini kostum yang kosong, mereka mungkin mencoba untuk... Memasukan kerangka logam ke dalam dirimu. Aku bertanya-tanya bagaimana hal itu akan bekerja. Ya, lupakan itu. Lebih baik hanya tidak tertangkap oleh mereka,"

"Hm, cukup mengerikan," komentar Mike sambil menyeruput kopinya.

"Um... Ok, aku akan meninggalkanmu untuk itu. Sampai jumpa lain kali,"

"Orang aneh," timpalnya.

Mike masih memikirkan apa yang diceritakan atasannya itu. Belum semua ia ceritakan karena jam kerjanya harus dimulai dan Manajer harus pulang. Dari rasa ketakutan sang Manajer, insting Mike sejak awal bekerja memang tidak salah. Lalu pesan-pesan dari telepon barusan juga membenarkan hal itu.

Jam satu. Mike sudah berkali-kali melihat Pirate Cove dan Show Stage. Terkadang melihat Backstage. Matanya sudah terbiasa melihat hal menyeramkan, seperti wajah Bonnie yang benar-benar dekat dengan kamera di Backstage, matanya yang hitam pekat menyisakan sedikit cahaya di tengahnya. Mike sungguh tidak menyukai Bonnie. Kelinci ungu itu seakan suka melompat ke mana-mana.

Lalu wajah Chica yang selalu menatap kamera di manapun ia berada. "Ayam yang narsis," Mike menjulukinya demikian.

"Da da dam dam dam dadam dam dum dididum dumdum dididum,"

Mike sedikit kaget karena Foxy bernyanyi tiba-tiba.

"Dam dam dididam dam dam dam dididam dam dam dam dam,"

Suaranya nyaring saat kameranya melihat Pirate Cove. Mike menatap sepasang mata yang mengintip keluar itu. Mata Foxy, dan wajahnya sedikit terlihat dibalik tirai.

Beberapa menit kemudian, Foxy sudah berubah posisi. Setengah badannya keluar dari tirai ungu itu. "Hm, apa dia akan menuju kemari?" gumam Mike.

Mike sengaja diam sebentar lalu melihat Pirate Cove lagi. Foxy sudah sepenuhnya keluar dari tirai itu. "Kepalanya—kenapa begitu?" Mike heran melihat kepala Foxy yang terlalu miring itu. Mike mencoba menirukan posisi itu. "A-aduh-duh!"

Tentu, lehernya sakit. "Foxy penggemar Shaf*, ya?" Mike bercanda lalu menyalakan lampu kiri-kanannya. Aman.

"Kemana dia!?" Mike panik, melihat Foxy sudah tidak ada di depan 'rumah'-nya itu dan papan di depan tirai berubah tulisannya, 'IT'S ME'.

Mike buru-buru menutup pintu-pintunya. Lalu melihat lorong, jelas sekali Foxy sedang berlari dengan cepat. Dan terdengar suara ketukan cukup keras pintu di bagian kirinya.

"Wow—Pelan, Foxy. Kau mengagetkanku!" Mike menelan ludahnya.

Setelah empat ketukan, Foxy pergi, kembali ke Pirate Cove. Kembali ke dalam 'rumah'-nya.

.

.

.

"Hey! Kau terlihat…. Stress, kau tidak apa-apa?" Manajer menghampirinya. "Ya, tidak apa-apa. Hanya saja, mereka aktif sekali di malam ke tigaku ini,"

"Seperti yang sudah kuduga, kalau kau tidak tahan. Kau bisa berhenti sekarang," Manajer menghela nafasnya.

"Uh, tidak. Aku bisa bertahan dari teror mereka,"

"Istirahatlah, kalau ada waktu aku akan teruskan cerita tentang Freddy Fazbear's Pizza ini."

.

.

.

"Para Animatronic itu kerasukan. Karena itu setiap malam mereka bertingkah aneh."

"Aku tahu sedikit dari berkas yang mereka kasih saat menyerahkan usaha ini. Insiden berturut-turut ini ada semua dalam berkas ini. Kau mau membacanya?"

Manajer memberikan buku besar dan tebal. "B-boleh?" Mike bukannya ragu untuk mengetahui rahasia maupun hal-hal yang lainnya. Tapi ia ragu bisa membaca semua isi buku ini atau tidak.

"Isinya bukan tulisan semua, ada foto-foto juga, dan hal penting sudah ku garis bawahi,"

Seakan menjawab keraguan Mike, Manajer tersenyum ramah. "Aku tidak bisa menyelesaikan semua teka-teki ini. Aku tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi pada temanku itu,"

"Ah, iya. Apa para penjaga sebelum aku dapat pesan dari telepon? Seseorang yang mengaku telah bekerja di sini dan selesai melakukan pekerjaanya selama seminggu berjaga di sini?" Mike teringat dan mengutarakannya.

"Hm, ada, satu-satunya yang menyelesaikan kerjanya dalam seminggu. Tapi, dia sudah tidak bekerja di sini. Seingatku namanya Alex. Benar, para penjaga mendapat pesan itu, tapi semuanya keburu berhenti bekerja sebelum kontrak mereka habis,"

"Jadi, restoran ini seperti terkutuk atau terganggu, begitu?" Manajer mengangguk menanggapi pertanyaan itu. "Sekalipun meminta bantuan pendeta atau lainnya. Tidak ada yang bisa membantu,"

"Ah, sayang sekali," Mike membuka buku itu.

"Aku merasa kasihan kepada anak-anak yang menjadi korban itu. Kurasa mereka 'terjebak' di dalam Animatronic. Aku sudah sering mendengar tawa para Animatronic yang berubah. Dulu sekali suara tawanya tak seperti itu, tapi sekarang lebih terdengar seperti menangis."

"Mereka 'terjebak'? Hal yang paling tidak menyenangkan kalau begitu. Kita harus membantu mereka untuk pergi dengan tenang," Mike membaca sedikit artikel di sana.

"Seandainya aku bisa, hanya itu yang aku punya tentang mereka, termasuk kejadian-kejadian lama,"

.

.

.

Mike bukanlah orang jenius, ia biasa-biasa saja. Membaca artikel sebanyak ini saja membuat ia mengantuk. Yang Mike dapat dari buku itu adalah, enam anak yang menjadi korban sebelum insiden tahun 1987 itu. Lalu ia tahu kalau ada orang bernama Vincent, yang sekarang tidak diketahui keberadaannya.

Tak lupa soal Jeremy, ia korban yang disembunyikan beritanya dari orang luar. Mike melihat foto-foto yang ada di dalam buku itu. Foto seluruh Animatronic, termasuk Animatronic lama yang belum diperbaiki waktu itu.

"Seram juga, Bonnie," Mike memandang foto Bonnie yang tidak memiliki wajah. "Jadi para 'Toy' benar-benar rusak saat Manajer Fritz berjaga, lalu mereka malah membetulkan Animatronic lama? Hm,"

.

.

.

Malam ke empat.

Mike sudah bersiap-siap di dalam kantornya, jam belum menunjukan jam dua belas malam. Tapi ia sudah duduk di kursi aneh itu.

"Hari ke empat. Kemarin jam lima pagi Freddy keluar dari panggung. Kurasa dia juga berbahaya," gumam Mike.

Five Nights At Freddy's (Episode 9)


Penulis: Scott Cawthon


"Kau siap dengan malam ke dua?"

"Aye aye, sir!" Mike menjawab ala bajak laut, karena ia sedang berada di depan Foxy yang sedang diaktifkan. Manajer terkekeh melihat sikap bawahannya itu. "Kau menyukai Foxy, huh?"

Mike mengangguk sebentar. "Dia keren!" mereka berdua sedang menguji Foxy apakah masih berfungsi dengan baik atau masih rusak. "Dan aku suka saat ia bernyanyi," lanjut Mike.

"Ya, anak-anak juga menyukainya, dulu. Sebelum insiden berdarah enam tahun lalu,"

"Lihat saja gigi berwarna emasnya, berbeda dengan yang lain, 'kan?" Manajer mematikan mesin Foxy dan menaruhnya kembali ke dalam tirai ungu itu. "Ya, memangnya kenapa?" tanya Mike membantu atasannya itu.

"Gigi yang berwarna lain itu bukan gigi aslinya. Yang asli telah menancap di tubuh anak kecil yang tewas digigit olehnya. Gigi itu dijadikan barang bukti,"

"Apa Manajer tahu kejadian sebenarnya?" Mike penasaran. "Hm, ini sebenarnya rahasia perusahaan. Tapi, kurasa aku bisa mempercayaimu,"

"Tentu, Pak!" Mike tersenyum bangga. "Sudah kubilang panggil Manajer saja, tidak usah pakai 'Pak'. Jadi, kejadiannya di tahun 1987. Saat itu restoran yang lama sedang ramai karena ada pesta ulang tahun,"

"Ada pegawai berinisial 'J', dia sedang menggendong anak kecil. Itu karena permintaan anak kecil itu sendiri. Karena anak kecil itu ingin menyentuh kepala Foxy. Dan tentu, pegawai itu menggendongnya, dan mendekatkan anak itu ke kepala Foxy," Manajer menutup tirai ungu itu setelah mereka berdua sudah ada di luar 'rumah' Foxy.

"Dan Foxy menggigit anak kecil itu. Giginya bukan mainan, tapi sungguhan. Biasanya dia tidak akan seperti itu. Mungkin karena ada kerusakan, jadilah kecelakaan tak disengaja itu," terangnya.

"Ya, kudengar para robot ini memang untuk menjaga juga, ya?" Mike mencoba menggali informasi lagi. "Ya. Terutama Animatronic yang baru saat restoran lama masih beroperasi. Tapi mereka membuangnya, karena Animatronic itu tak mau berfungsi setelah insiden Foxy menggigit anak kecil itu. Jadi yang masih bisa diselamatkan hanya Animatronic lama yang sekarang ada di sini,"

Mike manggut-manggut mengerti.

"Begitulah, jadi selamat bekerja!" Manajer tersenyum ramah dan pamit.

.

.

.

Mike sudah duduk santai di kursinya, menikmati donat yang ia makan. Matanya melirik kearah jam dinding, tepat jam dua belas malam.

KRIIIING

KRIIIING

Mike menatap tombol telepon yang bersinar tidak terlalu terang itu. "Pesan lagi, huh?"

KRIIING

Mike menerima pesan tersebut sambil mengunyah makanannya.

"Uhh, Hallo? Hallo?"

"Hooo, dia lagi," celetuk Mike lalu menghabiskan donatnya.

"Uh, baik, jika kau mendengar ini berarti kau berhasil dan akan menjalani hari ke dua, uh, selamat! A-aku tidak akan berbicara cukup lama saat ini karena Freddy dan teman-temannya cenderung menjadi lebih aktif semakin hari berlangsung. Uhh, mungkin ide yang baik untuk mengintip kamera tersebut sementara aku berbicara hanya untuk memastikan semua orang di tempat yang tepat. Kau tahu..."

"Uh... Yang cukup menarik, Freddy sendiri tidak datang dari panggung sangat sering. Aku dengar dia menjadi jauh lebih aktif dalam gelap, jadi, hei, saya kira itu salah satu alasan lagi untuk tidak kehabisan daya, kan? A-aku juga ingin menekankan pentingnya menggunakan lampu pintumu itu. Ada titik buta dalam pandangan kameramu, dan titik buta itu kebetulan berada di luar pintu-pintu sampingmu. Jadi jika—jika kau tidak dapat menemukan sesuatu, atau seseorang, pada kameramu, pastikan untuk memeriksa lampu pintu. Uh, kau mungkin hanya memiliki beberapa detik untuk bereaksi..."

Mike mengangguk seakan mengerti dan menyalakan lampu pintunya sebentar.

"Uh, tidak bermaksud kau akan berada dalam bahaya, tentu saja. Aku tidak menyiratkan hal seperti itu. Juga, periksa tirai di Pirate Cove dari waktu ke waktu. Animatronic di dalamnya tampaknya unik karena ia menjadi lebih aktif jika kamera tetap mati untuk jangka waktu yang lama. Saya kira dia tidak suka diawasi. Saya tidak tahu. Lagi pula, saya yakin kau bisa mengkontrol semuanya! Uh, aku akan berbicara denganmu lagi lain kali,"

Mike menekan kamera 1C. masih tertutup rapat. "Foxy unik? Aku setuju," komentarnya setelah pesan itu berakhir. "Siapa ya, dia? Niat sekali merekam suaranya dan memberitahu perlahan," Mike menyeruput minumannya.

Kamera 1A, dia sadar kalau tiga Animatronic menatap kameranya. "Whoa! Mereka menatapku lagi," gumamnya. Mike beralih ke kamera 1B, Dining Area. Matanya melihat bayangan gelap hampir menutupi kameranya. "Siapa itu?"

Mike langsung beralih ke kamera 1A, Show Stage itu hanya ada dua Animatronic yang menghadap kearah lain, tidak menghadap kamera lagi. "Bonnie tidak ada? Dia bergerak," Mike kembali melihat Pirate Cove. Masih tertutup rapat.

Selang satu jam kemudian. Bonnie suka berpindah tempat. Namun Mike bisa menghemat daya perbekalan untuk menyinari malamnya di sini.

Mike tidak terburu-buru maupun melihat satu-satu ruangan melalui kameranya. Ia benar-benar menghemat daya, hanya mengecek Show Stage lalu Pirate Cove. Selebihnya menyalakan lampu pintu sampingnya.

Satu jam berlalu. Jam dua dini hari ini tidak ada pergerakan maupun ancaman yang dirasakan Mike. Pirate Cove masih tertutup tirainya, Bonnie hanya sesekali diam di West Hall.

"Da da dam dam dam dadam dam dum dididum dumdum dididum, dam dam dididam dam dam dam dididam dam dam dam dam,"

Lagi-lagi Mike mendengar suara Foxy bernyanyi, Mike tersenyum mendengar suara bariton itu. Kemudian Mike menekan lampu pintu kanannya. Di kaca tidak terlihat apa-apa. Lalu bagian kirinya, juga tidak ada apa-apa.

Mike mengecek Show Stage. Kini Chica tidak ada di sana. "Sang ayam bergerak," gumamnya. Lalu kembali melihat Pirate Cove. Tirai ungu tak berubah, masih tertutup dan berhias bintang. Tak lupa tulisan 'Sorry! Out of order' masih di sana.

Mike menyeruput kopinya sembari menyalakan lampu bagian kiri, pintu kiri.

"Bhhhuuuuh!" Mike menyemburkan kopinya dari dalam mulutnya. Tangan Mike sigap menekan tombol untuk menutup pintu kirinya.

"Bonnie!?" pekiknya kaget. Ia tidak salah lihat, ada wajah Bonnie yang nampak saat ia nyalakan lampu tadi. Wajahnya seperti mengatakan 'Hai, penjaga baru!'.

"Uh, kau masih di situ, aku tahu itu,"

Ujar Mike sembari sesekali menyalakan lampu kiri, bayangan Bonnie masih ada di sana. "Senang bertemu denganmu Bonnie, aku akan bermain denganmu siang hari," entah mengapa Mike berkata seperti itu. Mungkin agar Bonnie mau pergi dari situ.

Sedetik kemudian bayangan itu tidak ada. Mike bernafas lega, tapi tidak langsung membuka pintu kiri itu. Ia menekan tombol lampu pintu kanan-nya lalu melihat Pirate Cove. Setelah semua aman, baru ia buka pintu kirinya.

"Haaah, celanaku basah karena kopi," Mike hendak berdiri dari kursinya, namun tidak bisa. "Ap—kok, tidak bisa bangun?" Mike memajukan bibirnya. Dan menghela nafasnya. "Pantas saja para penjaga tidak betah. Mereka tidak bisa bangun juga seperti ini? Dan dikagetkan dengan wajah-wajah yang sepertinya kelaparan itu," celetuk Mike yang pasrah.

Sudah jam lima pagi. Mike masih sesekali melihat televisinya, lalu menyalakan lampu di lorong itu. "Hoooaaahhm,"

Mike menutup mulut sebisanya, tapi tidak kuat menahan rasa kantuk yang mulai menyerangnya.

Jarinya menekan lampu bagian kanannya. Tampak makhluk kuning membuka mulutnya dan menatap Mike di jendela itu. 'LET'S EAT' tertera di apron yang ukurannya untuk balita terpasang di tubuhnya. Mike tidak melewatkan sedetikpun untuk menutup pintu kanannya.

"Ups, kau lapar, Chica? Sebentar lagi matahari datang, kau bisa sarapan nanti bersama yang lain," Mike mencoba menenangkan dirinya sendiri, karena itu ia seakan berbicara pada Animatronic yang datang mendekat.

Mike lalu menekan lagi lampu untuk menyinari lorong kanan itu. Chica sudah tidak ada di jendela.

.

.

.

"Mereka bergerak, dan menghampiri kantorku," Mike bercerita. "Ya, para penjaga yang bertahan juga bilang seperti itu. Banyak yang langsung menyerah di hari kedua. Apa kau juga?"

"Tidak, Manajer. Lagipula kursi itu sepertinya ada perekatnya," canda Mike.

"Kursi itu seperti menahanmu, bukan? Para penjaga juga mengkhawatirkan hal itu. Karena mereka tak bisa kemana-mana, lalu Animatronic yang datang seakan ingin menerkam mereka. Aku juga heran kenapa kursi itu begitu mistis. Sama seperti yang dia alami dan juga aku sendiri,"

"Rupanya bukan aku saja," Mike terkekeh pasrah. "Jadi, kau masih ingin kerja? Walau gaji benar-benar upah minimum, dan nyawamu bisa terancam? Dan tidak ada jaminannya?" Manajer bertanya kembali.

Mike mengangguk mantap. "Tentu! Aku suka pekerjaan menantang!" Manajer membalas dengan senyuman dan menepuk pundak Mike pelan.

.

.

.

"Bagaimana, kak?" John lagi-lagi menanyakan hal yang tidak jelas. "Apanya?" Mike tidak langsung menjawab, dia tidak ingin dikerjai lagi oleh adiknya.

"Ya, pekerjaanmu. Sudah dua malam, apa mereka benar-benar begerak di malam hari?"

Mike diam sebentar. "Itu hanya mitos,"

"Heeee? Tapi aku dengar rumor kalau—"

"Rumor sama saja mitos. Kalau fakta sama saja sungguhan. Kau tidak tahu itu? Kembali ke taman kanak-kanak kalau begitu!" canda sang kakak.

"Uh—awas kau!"

Mike entah kenapa tidak mau menceritakan kejadian semalam. Adiknya dan ia benar-benar mirip, sifat maupun wajahnya. Yang membedakan hanya tanda lahir yang terdapat di wajah John. Jadi orang-orang mudah membedakannya.

John juga pemberani seperti Mike, karena itu ia tidak ingin menceritakan hal semalam karena Mike takut kalau John ingin berjaga malam juga.

Sang Manajer saja mengakui kalau pekerjaan yang dipikul Mike adalah pekerjaan yang berbahaya. Animatronic itu bisa saja membunuh siapapun jika terjadi kesalahan pada sistemnya.

Tak heran juga restoran ini tidak terlalu ramai. Sudah banyak orang yang tahu bahaya dari Animatronic itu. Manajer juga sering sekali mendapat cibiran dari konsumen maupun orang luar. "Kenapa restoran seperti itu masih dibuka lagi? Mereka punya robot pembunuh!"

Ia bilang, karena ini sudah takdirnya untuk meneruskan usaha dan juga sudah nasibnya untuk menerima cibiran itu. Mike dan semua pegawai merasa iba tentunya. Kalau saja Mike tahu kenapa sistem Animatronic selalu rusak dan berbeda pergerakannya saat malam. Mike bukan seorang teknisi, ia tidak tahu apa-apa.

.

.

.

"Lho? Kenapa datang lebih awal?" Manajer bingung melihat Mike sudah ada di dalam restoran. "Hm, karena aku ingin membantu kalian bersih-bersih," alasan Mike.

Sebenarnya ia ingin menanyakan hal lain, yang mungkin berhubungan dengan Animatronic maupun sejarah restoran ini.

"Manajer, kalau boleh tahu, restoran ini punya siapa? Apa keluargamu?" Mike mulai berani menanyakan. Sejenak sang Manajer menghembuskan nafasnya. "Bukan, dulunya aku hanya penggemar para Animatronic itu,"

"Kau pasti datang lebih awal karena ingin mendengarkan kisah restoran ini, 'kan?" lanjut Manajer. Mike membeku sebentar lalu tersenyum seperti orang bodoh. "Ehehe,"

"Ahahah! Sudah kuduga, baiklah. Karena kau penjaga malam, dan Animatronic itu yang harus kau jaga. Jadi aku ceritakan beberapa kejadian saja,"

Mike mengangguk lalu menatap serius.

"Saat aku kecil, aku sudah mengenal Animatronic ini. Lalu temanku bekerja di restoran sebelum ini. Di mana Animatronic ada banyak dan tempatnya juga luas. Aku hanya mendengar cerita-ceritanya selepas ia pulang kerja. Ia sama sepertimu, penjaga malam. Itu terjadi enam tahun lalu. Aku sempat menggantikan shift temanku karena ia…. Terlibat insiden,"

"Anu, jika tidak sanggup menceritakan, saya tidak memaksa," ucap Mike memotong cerita. "Tidak, tidak apa. Ini juga sebagai pelajaran untukmu yang penjaga malam,"

"Aku bekerja satu malam saja dan langsung dipecat. Karena dituduh merusak para Animatronic itu dan alasan tak masuk akal lainnya. Aku tidak melakukan apapun pada Animatronic baru maupun yang lama. Mereka benar-benar datang menerorku, seperti yang temanku ceritakan,"

"Aku hanya bisa berlindung pada topeng Freddy berwarna coklat itu. Karena mereka seakan ingin memakanmu, atau memasukanmu ke dalam badan mereka. Saat itu kantor untuk penjaga tidak ada pintu. Di depanmu langsung lorong yang gelap, di mana Animatronic langsung muncul terkadang. Dan ada ventilasi kiri dan kanan, tidak ada penutup juga,"

"Belum lagi kau harus memutarkan kotak musik untuk satu Animatronic di ruangan yang jauh. Memang, sudah di-setting agar dari kantor bisa kau putarkan,"

Mike menggeleng-geleng. "Wah, jadi bergantung dengan topeng itu?"

"Ya, dan aku yang tidak melakukan apapun, apa lagi menyentuh Animatronic itu. Dan aku dipecat. Saat itu aku benar-benar down. Di saat aku ingin pergi dari tempat itu. Aku mendengar suara temanku, padahal dia seharusnya sedang ada di kantor polisi karena insiden di tahun 1987 itu,"

"Ternyata temanku yang sesungguhnya ada di situ. Entah mungkin ini terdengar tidak masuk akal. Seperti sihir saja, wajah temanku itu menjadi orang lain, dan orang lain memakai wajahnya. Ini rahasia perusahaan, loh!"

Mike mengangguk cepat. "Lalu apa yang terjadi?"

"Saat aku mengenalinya, dia terbunuh tepat di depan mataku sendiri. Foxy—Foxy yang membunuh temanku itu,"

"Ah, maaf. Aku turut berduka,"

"Ya, tidak apa-apa. Dan para pegawai heboh. Temanku yang sesungguhnya sudah mati, lalu yang menggunakan wajahnya itu adalah orang yang menggendong anak kecil yang tergigit oleh Foxy. Yang kuceritakan kemarin, dia adalah orang lain. Polisi tidak dapat menangkapnya karena kabur tanpa meninggalkan jejak satupun,"

"Lalu restoran lama ditutup. Sudah ketiga kalinya usaha ini ditutup, lalu Manajer yang sebelumnya meminta maaf padaku dan menyerahkan usaha ini padaku,"

Happy New Year 2017

 
Wish your friends circle with the sweetest New Year Status messages to make your New Year celebration happier than ever.
Wishing you and your loved ones peace, health, happiness and prosperity.
You are a dreamer, and you are an achiever. May you dream and achieve bigger feats, with every passing year.
Wishing you a fabulous 2017 with full of great achievements and experiences. A meaningful chapter waiting to be written Happy New Year!
My New Year’s 2017 resolution is to stop hanging out with people who ask me about my New Year’s resolutions.
The New Year begins in a snow-storm of white vows.
May each and every day of yours be renewed with lots of happiness and love, Happy New Year!


Selamat Tahun Baru 2017
-Inisial A-