Five Nights At Freddy's (Episode 3)


Penulis: Scott Cawthon



"Kali ini saya pastikan telepon berfungsi. Semua kamera tidak rusak, dan semua Animatronic ada pada tempatnya. Saya sebenarnya sudah bosan menerima laporan bahwa mereka berjalan-jalan di malam hari. Mereka memang tidak punya 'modus malam'. Tapi mereka tidak akan berbuat sejauh itu,"

Hanya itu yang manajernya bilang. Membuat Jeremy pasrah akan pekerjaannya ini. Jam hampir memperlihatkan jarum jam yang menyatu jadi satu. Jam dua belas malam.

Namun Jeremy lagi-lagi melihat alat elekroniknya menampakan game yang berbeda malam ini. Kali ini Jeremy melihat karakter yang ia mainkan adalah Marionette. Makhluk hitam-putih yang menangis-tersenyum itu. Mau tak mau Jeremy menggerakan sang Marionette.

GIVE GIFTS.

Begitulah yang tertulis di pojok kanan atas dengan ciri khas game arcade. Di suatu ruangan, hanya ada Marionette dan empat buah entah apa itu berwarna abu-abu. Di tengah ruangan ada kado merah-putih. Tampaknya kado itu diletakkan di dekat empat makhluk entah-apa-itu yang berwarna abu-abu. Kado itu terus ada sampai ke empatnya mendapatkannya.

GIVE LIFE.

Tiba-tiba game berganti mode. Jeremy menatap heran, ia kira sudah selesai permainannya, ternyata belum. Jeremy awalnya bingung. Lalu ia menggerakan karakternya mendekati empat makhluk abu-abu, masih sama dengan game sebelumnya. Namun kali ini ketika mendekati satu makhluk abu-abu itu, kepala mereka berubah warna. Yang pertama berwarna ungu, persis seperti Bonnie.

Yang ke dua berwarna kuning seperti Chica. Ke tiga berwarna coklat seperti Freddy. Jeremy mengerutkan alisnya. Ia tahu kalau game ini seperti menunjukan sesuatu. Ia merasa karakter yang ia gerakan sangat lambat.

Yang terakhir berwarna merah, seperti Foxy.

Seketika itu juga kepala Golden Freddy muncul di layar, menutupi seluruh layar televisi. Benar-benar mengejutkan Jeremy, terlebih suara teriakan melengking dari televisi itu. "Whuaaah! Apaan itu!?" pekiknya.

Jeremy bersumpah, sebelum ia melihat kepala Golden Freddy yang kosong itu muncul di layarnya, ia melihat di tengah-tengah layarnya ada satu lagi makhluk abu-abu itu.

"Ada lima makhluk—tunggu, aku juga mendengar ejaan tadi," ingatnya. Jeremy mendengar jelas ejaan saat game berlangsung tadi. Hampir sama seperti game yang ia mainkan kemarin.

H-E-L-P T-H-E-M

"Menolong siapa?" Jeremy bergumam.

KRIIIIING

Jeremy terlonjak. Ia yang sedang asik-asiknya memikirkan apa yang menjadi misteri di restoran ini dan sembari memutarkan kotak musik itu terkejut mendengar deringan telepon. "Dia lagi, huh?" tebaknya.

Jeremy sedikit malas menerima pesan entah-dari-siapa-itu.

KRIIIIING

Jeremy menyeruput kopinya terlebih dahulu.

KRIIIING

Jeremy menerima pesannya.

"Hello, hello! Lihat? Sudah kubilang kau tidak akan memiliki masalah! Apakah... Uh... Apakah Foxy pernah muncul di lorong? Mungkin tidak. Saya hanya ingin tahu. Seperti yang saya katakan, dia selalu favorit saya. Mereka mencoba untuk membuat ulang Foxy, kau tahu? Uh, mereka pikir dia terlalu menakutkan, sehingga mereka di desain ulang, dia menjadi terlihat lebih ramah dan menempatkannya di Kid's Cove. Untuk menjaga anak kecil dan menghiburnya, kau tahu..."

"Tapi anak-anak zaman sekarang tidak bisa menjaga tangan mereka untuk diri mereka sendiri. Staf menempatkan Foxy kembali setelah setiap shift. Jadi akhirnya mereka berhenti mencoba dan meninggalkannya karena beberapa anak tetap 'membongkar dan memasang kembali' tubuhnya. Sekarang dia hanya tinggal beberpa bagian saja. Saya pikir karena itu karyawan menjulukinya sebagai 'The Mangle.' Uh ..."

"Kau tahu banyak, ya," Jeremy menghela nafasnya. "Tetap saja kami tidak tahu kau,"

"Oh, hey, sebelum aku pergi, uh, saya ingin meringankan pikiranmu mengenai rumor yang mungkin telah kau dengar akhir-akhir ini. Kau tahu bagaimana cerita-cerita lokal datang dan pergi dan kadang tidak berarti apa-apa. Saya pribadi dapat meyakinkan kau bahwa, apa pun yang terjadi di luar sana, dan bagaimanapun tragisnya mungkin, tidak ada hubungannya dengan apa yang kami dirikan. Hanya saja semua rumor serta spekulasi itu... orang yang mencoba untuk menghasilkan uang. Kau tahu…. Uh, penjaga pada siang hari telah melaporkan hal-hal yang tidak biasa. Dan dia menjaga sampai tutup."

"Oke, baiklah, bertahanlah di sana dan saya akan berbicara denganmu besok lagi,"

Jeremy menghela nafas sekali lagi. "Aku tidak begitu mengerti. Ya, sampai besok, pria-entah-siapa-dirimu,"

"Malam ke tiga, aku tidak tahu apa yang akan mereka lakukan lagi. Semoga tidak terjadi apa-apa,"

Tidak bosan, Jeremy selalu melihat ruangan bernama Prize Corner dan memutarkan kotak musik itu. Selalu, setiap lima belas detik sekali. Jarinya pun sudah terbiasa, dan kecepatannya dalam menekan tombol-tombol patut diacungi jempol. Dia sanggup memeriksa sekeliling lalu memeriksa setiap ruangan dengan cepat.

"Hmmm, tidak ada apa-apa, hampir jam satu pagi, syukurlah,"

Jeremy menyeruput kopi hangatnya, selalu ia bawa dari rumah. Kali ini dia juga membawa obat sakit kepala. Ia tidak mau kehilangan fokusnya.

Jarinya menekan tombol senter, demi menyinari lorong di depannya.

"UHUK!"

Ia tersedak. Bukan, bukan karena di hadapannya ada Bonnie atau siapapun. Tidak ada apa-apa di depannya. Ia tersedak karena kopinya mengandung sesuatu. "Uhuk—"

Ia merogoh rongga mulutnya sendiri. Jarinya mencari benda yang menyangkut dalam mulut menuju tenggorokkannya. "Ugh—"

Matanya berair, ia merasa seperti ingin muntah namun tak bisa, ia ingin bangun dari tempat duduknya namun tak bisa. "Aghhhh! Uhuk!"

Jeremy mendapat benda yang menyumbat di antara mulut dan tenggorokkannya. Ia mengeluarkannya secara perlahan. Dan terlihatlah benda hitam berbentuk silinder, panjang, dan di dalamnya seperti ada serabut.

"Kh—kabel?"

Jeremy buru-buru melihat isi gelasnya. Cairan coklat pekat itu terlihat normal. "Dari mana kabel ini berasal?!" ia meletakan kabel yang sepanjang sekitar lima-tujuh sentimeter di atas mejanya. Matanya menangkap bayangan hitam dari atas. Jeremy tidak mau menengok keatasnya, tidak sebelum ia memakai topeng Freddy yang senantiasa menemani kerjanya.

Ia masih bisa melirik keatas, sedikit. Kabel yang menjuntai membelai topengnya. Suara mesin yang aneh menderu pelan. Ruangan menjadi redup seketika.

'Mangle!? Sejak kapan ia ada di sini!?' Jeremy mengumpat dalam hatinya. Ia lengah, namun Mangle tidak berlama-lama ada di kantornya. Mungkin karena Jeremy dengan cepat memakai topeng penyelamat hidupnya itu. Atau Mangle hanya mempermainkannya?

"Aduh! Kotak musiknya—"

Jeremy membeku. Lagi-lagi ia melihat Marionette, kepalanya menyembul keluar dengan menawannya. Senyumnya tak pernah absen dari wajahnya. Jeremy sigap memutarkan lagu kesayangan sang Puppet. Tak lupa ia melihat ruangan lainnya. Semua Animatronic masih pada tempatnya. Jeremy bernafas lega, terlebih Marionette kembali tidur di dalam kotaknya.

.

.

.

Jam tiga pagi. Jeremy heran, ia hanya diganggu oleh Mangle saja. Yang lain masih pada tempatnya—walau terkadang ada saja yang jalan. Namun tidak mendekati kantornya.

"Ahahahah!"

"Suara ketawa itu—" Jeremy menyalakan lampu pada ventilasi kanan, tidak ada apa-apa.

Jarinya menekan lampu bagian kiri ventilasi. Wajah sumringah dari robot berbentuk anak kecil muncul. Mata birunya berbinar, pipi bulat merah merona memberi kesan lucu. Tapi, sesungguhnya dia sama sekali tidak lucu. Jeremy yakin di balik wajah bahagianya itu, Balloon Boy termasuk Animatronic yang berbahaya.

Reflek Jeremy sangat bagus. Ketika ia melihat wajah sumringah dari robot itu, ia tanpa basa-basi memakai topeng Freddy. Balloon Boy memang tidak terlalu suka berkeliaran, karena tugasnya memberikan balon kepada anak-anak. Tapi, karena insting Jeremy mengatakan bahwa BB cukup berbahaya, Jeremy tidak bisa menolak untuk melindungi dirinya sendiri.

Tidak terlalu lama untuk menunggu BB pulang ke tempat asalnya. Tak ingin nyawanya terancam lagi, Jeremy buru-buru memutarkan kotak musik itu.

IT'S ME

Lagi-lagi, bayangan itu muncul. Membuat kepala Jeremy merasa sakit. Sebelum ia meraih obatnya, ia memastikan bahwa sekitarnya aman. "Uh, lagi-lagi seperti ini,"

Jeremy terpaksa meminum obat yang ia bawa. Lalu kembali beraktivitas seperti biasa, walau sakit kepalanya tidak langsung hilang tentunya.

'Hi!'

Suara anak kecil menggema sekali lagi. Jeremy menyorot sekelilingnya, termasuk lorong di depannya. Nafasnya tercekat.

"Foxy?"

Makhluk merah itu berdiri di ujung lorong. Kepalanya menunduk, namun eyepatch hitamnya tak dapat disembunyikan. Begitu juga dengan hook di tangan kanan sang rubah besi. Jeremy tentu mengikuti saran dari pria-entah-siapa-itu.

"Uh, okay. Mereka mulai bergerak,"

Foxy memang sudah menghilang dari hadapan Jeremy. Namun saat setelah memutar musik dan melihat bagian Parts and Service Room. Mata Jeremy berkedip, melihat yang duduk di sana bukanlah Bonnie. Walau warnanya masih senada dengan Bonnie, tapi ia lebih gelap. Kepalanya dihiasi topi hitam kecil.

"Eh? Siapa dia? Freddy? Tapi, kok hitam-keunguan?" Jeremy bergidik dan langsung mengganti kamera ke bagian panggung.

Tiga Animatronic sang penguasa panggung, hilang. Tiga-tiganya.

"APA?!" Jeremy tidak bisa menahan paniknya. Ia gusar, memeriksa seluruh ruangan. Walau ia menemukan Toy Chica yang sedang ada di ruangan pesta ke empat. Tersenyum kearah kamera sambil membawa cup cake sepeti biasa. Namun matanya berwarna hitam pekat, dan paruhnya tidak ada.

"Paruhnya ke mana?" Jeremy tahu pertanyaan itu sangat tidak penting sekarang, yang ia tahu pasti bahwa teror terjadi lagi. Dia sudah tidak kaget lagi dengan kursi yang melarangnya pergi, dan sudah tidak asing lagi dengan suara maupun aura ganjil di sekitarnya.

Toy Bonnie datang, Jeremy bertahan di dalam topengnya. Toy Chica datang, Jeremy masih bisa bertahan dan tetap bisa memutarkan musik hanya untuk Marionette yang harus tidur nyenyak.

Jeremy sangat tidak suka di saat lampu yang menyinari kantornya itu meredup. Tepat di depannya ada tubuh besar ungu yang tak memiliki wajah, hanya rahang dan giginya terlihat jelas. Dia sangat amat tidak suka melihat kepala Bonnie, seakan ia melihat mimpi paling buruk dalam hidupnya.

Para Animatronic datang silih berganti. Membuat Jeremy beranggapan bahwa mereka semua mencoba untuk mengganggunya supaya tidak sempat memutarkan musik di ruang Prize Corner. Dan ia sering mendengar suara static saat Mangle muncul seakan mengatakan; TEN ONE. Jeremy tidak tahu apa maksudnya itu. Jeremy masih bisa bertahan, selama topeng Freddy ada padanya. Dan semuanya masih bisa ia kontrol, memutar musik dan bersembunyi di balik topeng.

Satu jam penuh Jeremy di teror, tidak ada waktu untuk memperdulikan kepalanya yang mulai terasa pusing lagi. Tidak ada waktu untuk menuangkan kopi barunya dalam gelas. "Jam empat pagi dan mereka semakin aktif," gumam Jeremy sangat pelan dari balik topengnya. Nafasnya justru lebih terdengar dari kata-katanya barusan.

Dia sedang berhadapan dengan Freddy. Perut buncit berwarna coklat itu terlihat dari lubang mata topengnya. Kalau saja Jeremy bisa berdiri, mungkin ia akan melawan Animatronic itu, jika ia bisa.

Lampu kembali terang, menandakan Animatronic itu pergi. Jeremy juga sedikit heran, apa mereka mengacaukan sistem listrik sehingga lampu dapat meredup ketika mereka datang? Anggap saja iya.

'Hello!'

Lagi-lagi, suara anak kecil menyapanya. BB bersuara, tapi belum tentu yang muncul adalah BB itu sendiri. Sudah keberapa kalinya ia mendengar suara BB namun yang ada di lorong maupun ventilasi bukanlah BB. Bisa saja ada Foxy, Bonnie, maupun yang lain.

"A-aduh-duh!" Jeremy bergidik, tak bisa di tahan bulu romanya berdiri. Bahkan sampai bulu di tangannya ikut berdiri.

Baru kali ini Jeremy merasakan seperti ini, dalam karirnya. Ia mendapat panggilan alam yang tak terduga. Sungguh hal yang tak terduga ini yang di benci Jeremy. "Si-siaaaal!" umpatnya. Kalau saja kursi ini dapat ia bawa walaupun menempel pada bokongnya. Panggilan alam ini sangatlah mengganggu konsentrasinya.

"Ce—cepatlah jam enam pagi!" erangnya menahan hasrat ingin buang air kecil. Diduga Jeremy terlalu banyak minum. Bagaimana tidak, ia harus meminum obat sakit kepala dan meminum kopi.

Tangan Jeremy semakin cekatan, antara memutar musik, melihat ruangan, dan melihat sekelilingnya. Keringat dingin menyelubungi kulitnya, dari kepala sampai ujung kakinya. Rasanya tersiksa untuk menahan, namun jika ia keluarkan disini juga, dia pasti menanggung malu.

Hawa dingin dari cuaca pagi buta dan kipas angin menambah bulu romanya berdiri, bergidik—menggigil karena menahan rasa ingin membuang air kecil.

"Argh!" Jeremy mematikan kipas angin di depannya. Ia tidak mau semakin 'menggigil'. Detik demi detik Jeremy lewati terasa lebih lama. Tapi, syukurlah ia masih bisa berkonsentrasi melakukan pekerjaannya.

Sempat Jeremy berpikir besok ia akan membawa botol atau tempat khusus, sehingga kejadian seperti ini tidak akan menghalanginya bekerja. Tapi pikiran itu segera ditangkisnya, besok ia berencana tidak akan duduk di kursi aneh ini lagi.

.

.

.

"Kau terlihat… tidak sehat, kenapa?" Manajer menepuk bahu Jeremy, anak buahnya yang satu itu terlihat lesu, urakan dan juga kantung mata yang menghiasi bagian bawah matanya.

"Ehm, mereka semakin aktif di malam hari. Dan kursi itu membuatku tidak bisa bergerak leluasa, Pak. Aku tidak bohong dan juga berhalusinasi. Aku tidak pernah memakai obat terlarang juga," Jeremy tertunduk lesu.

Manajer merasa iba, sangat iba. "Baiklah, terserah kau jika masih ingin bekerja di sini atau tidak. Kalau masih mau bekerja, besok datang lebih awal dan langsung menemuiku,"

.

.

.

HELP THEM

SAVE THEM

SAVE HIM

SAVE—

YOU CAN'T

IT'S ME

"Hhhhaaaahhh!"

Jeremy terbangun dari mimpi anehnya. Nafasnya sesak, badannya mengeluarkan bulir-bulir keringat di pelipisnya. Mimpinya terasa seperti nyata. Jeremy seakan berada di dalam tubuh Freddy, di panggung bersama Chica dan Bonnie. Kata-kata itu terus terngiang. Panggung yang ia mimpikan berbeda dengan panggung di mana ia bekerja. Seakan dia itu Freddy.

"Mimpi… tadi?"

Jeremy menutup matanya, menenangkan dirinya. Ia sangat ingat, pandangan dirinya seperti sedang memakai topeng Freddy namun ia berada di panggung, bukan kantornya. Bonnie memiliki wajah utuh juga tangannya, sedangkan Chica masih bagus, tangan juga utuh. Awalnya mereka berdua menghadap kearah meja yang terjejer rapih dengan topi pesta berbentuk kerucut yang berbaris di atasnya.

Namun lama kelamaan, Bonnie dan Chica menggerakan kepalanya. Melirik kearah Jeremy yang berada di dalam tubuh Freddy. Semakin lama, Bonnie dan Chica benar-benar menatap kearah Jeremy. Tatapan mereka seperti tatapan tidak suka dan kesal, walau temaram dan tak dapat melihat langsung ke dalam mata Endoskeleton itu. Tak lama kepala Marionette melayang di antara mata Jeremy—yang memakai topeng tentunya.

Seketika itu Jeremy merasa sesak dan terbangun dari mimpinya.

.

"Jadi, kau masih ingin bekerja di sini?"

Jeremy mengangguk mantap. "Ya,"

"Kenapa? Setelah semua yang kau hadapi, kau masih bisa bertahan, aku salut. Tapi, ini bisa menyangkut nyawamu sejujurnya," sang manajer menatap serius.

"Ah, ya. Mungkin? Firasatku mengatakan mereka berbahaya. Tapi saat siang hari dan melayani anak kecil, mereka terlihat biasa-biasa saja. Karena itu saya penasaran,"

"Karena itu. Sebenarnya, ada beberapa hal yang belum kuberi tahu padamu,"

Jeremy mendengarkan seksama.

"Kau pasti sudah dengar insiden yang pernah terjadi di restoran sebelumnya. Dan mengenai orang yang memberimu pesan dan arahan di telepon," manajer berhenti sejenak.

"Kurasa itu adalah pegawai lama di restoran sebelum ini. Aku tidak tahu persis. Saat aku kecil, restoran ini bernama Fred Bear's Family Diner. Lalu ditutup karena suatu insiden juga, dan beberapa tahun kemudian mereka membuka lagi, Freddy Fazbear's Pizza. Dan insiden lima anak kecil menghilang dalam restoran itu yang paling sering terdengar,"

Jeremy mengangguk pelan. "Ya, aku pernah dengar insiden lima anak menghilang itu,"

"Ya, karena itu restoran yang sudah dipegang oleh orang lain itu harus ditutup. Dan sekarang, kami membuka lagi. Namun pemiliknya telah berganti. Karena itu, aku tidak terlalu tahu tentang pekerja lama yang sudah berpengalaman menghadapi Animatronic itu,"

"Kami menjunjung tinggi keselamatan para pekerja juga para konsumen. Jadi, kutawarkan sekali lagi. Apa kau masih ingin kerja di sini?"

"Ya!" Jeremy menjawab dengan mantap. "Kenapa?" tanya manajer sekali lagi.

"Karena teror itu seperti menyampaikan sesuatu padaku. Setiap sebelum jam kerja dimulai, televisi itu memainkan game yang berbeda lagi, Pak. Dan pria yang memberi pesan itu selalu bilang sampai besok lagi. Dan selalu meyakinkanku bahwa tidak akan terjadi apa-apa selama aku mengikuti apa katanya,"

"Hm, baiklah jika itu maumu,"

"Ehm, satu lagi, Pak. Teleponnya mati lagi,"

G+

5 komentar:

  1. Jeremy masih bertahan? Padahal pekerjaan yang sangat aneh, sampai-sampai panggilan alamnyapun tdk bisa dia tunaikan. Betapa tersiksanya menahannya hingga pagi

    apa yg akan terjd dengan malam berikutnya?

    ReplyDelete
  2. Jeremy luar biasa meski kena teror masih saja ingin bekerja.

    Apakah mesteri restoran itu akan terkuak oleh Jeremy?

    ReplyDelete
  3. Wah kalau aku yg kerja di sini pasti udah nggak tahan deh sama terornya.

    ReplyDelete
  4. Kalau aku jadi Jeremy, mungkin udah kabur duluan jika kena teror seperti itu. Hehe

    ReplyDelete
  5. Jeremy tak kenal menyerah. Mungkin dia ingin menguak misteri besar?

    ReplyDelete