Pagi itu, cuaca cerah dengan matahari yang ingin keluar dari sangkarnya
tapi terlihat seperti malu kepada bumi, entah. Terdengar dari bawah
rumah berlantai dua dengan ukuran rumah yang tidak terlalu besar,
sederhana dengan dua pohon rindang di depan pagar rumahnya.
Suara kaki yang nampaknya berlari menuju lantai atas.
DAG!
DUG!
DAG!
DUG!
Seorang anak berumur kurang lebih 11 tahun berlari menuju kamar menggenggam gagang pintu dan membukanya. Seperti tak sabar, Ia berlari menuju rak buku dan mengambil sebuah buku kecil yang tampak kusam dengan cover buku yang sudah robek berwarna kecoklatan. Dibasahinya jempol serta telunjuk jarinya, lembar demi lembar kertas bergantian menunjukan tajinya, namun yang terpilih adalah lembar kertas yang sudah dibasahi oleh tinta hitam dengan tulisan yang tidak terlalu jelas karena beberapa sudah hampir tidak terbaca lagi, basah terkena tetes air.
“Untuk Ayah,
Yah, senang rasanya melihatmu pulang bekerja malam ini. Walaupun tak sepatah kata yang terucap dari mulutmu untuk ku. Padahal, aku berharap ada kata yang menghantam wajahku saat itu. Berharap hanya sekedar harapan. Ayah hanya pergi melintasi ku, tanpa sapa.
Ingin rasanya aku seperti teman ku, Keke. Iya yah, aku di kelas punya teman akrab namanya Keke. Cantik dan baik. Dia juga lucu pah, kalo aku lagi nggak mood untuk belajar, dia selalu membuatku tertawa, seakan semua hilang.
Aku bahagia dekatnya. Keke pernah bilang kepada ku, katanya ‘Tadi malam aku di bawakan sepeda sama Ayah ku, terus tadi sebelum berangkat sekolah aku diajari naik sepeda sama Ayah’. Katanya seperti itu, Yah. Ingin rasanya aku diajari sepeda sama Ayah. Tapi malah si mamang yang mengajari ku cara bersepeda.
Aku nggak marah, cuma aku kadang iri sama Keke yang tiap hari berangkat sekolah diantar sama Ayahnya.
Mungkin Ayah lupa kalau ada aku di rumah ini atau mungkin Ayah lupa kalau aku dilahirkan ke dunia ini sebagai anak dari seorang Bapak yang berbadan tegap seperti seorang pejuang perang ?
Yah.
Aku sayang Ayah.”
Sebuah surat untuk Ayah yang belum tersampaikan. Kini sudah dilipat rapi menjadi sebuah pesawat kertas.
“Bu, aku terbangin ya!”kata anak itu kepada ibunya. Lalu ibunya mengangguk kepadanya dan tersenyum.
“Coba saja". sahut sang ibu.
“Wahhh! Ibu, pesawatnya jatuh di batu nisan Ayah” anak itu teriak kegirangan.
Memang sudah seharusnya pesawat kertas itu akan kembali ke pemiliknya.
Suara kaki yang nampaknya berlari menuju lantai atas.
DAG!
DUG!
DAG!
DUG!
Seorang anak berumur kurang lebih 11 tahun berlari menuju kamar menggenggam gagang pintu dan membukanya. Seperti tak sabar, Ia berlari menuju rak buku dan mengambil sebuah buku kecil yang tampak kusam dengan cover buku yang sudah robek berwarna kecoklatan. Dibasahinya jempol serta telunjuk jarinya, lembar demi lembar kertas bergantian menunjukan tajinya, namun yang terpilih adalah lembar kertas yang sudah dibasahi oleh tinta hitam dengan tulisan yang tidak terlalu jelas karena beberapa sudah hampir tidak terbaca lagi, basah terkena tetes air.
“Untuk Ayah,
Yah, senang rasanya melihatmu pulang bekerja malam ini. Walaupun tak sepatah kata yang terucap dari mulutmu untuk ku. Padahal, aku berharap ada kata yang menghantam wajahku saat itu. Berharap hanya sekedar harapan. Ayah hanya pergi melintasi ku, tanpa sapa.
Ingin rasanya aku seperti teman ku, Keke. Iya yah, aku di kelas punya teman akrab namanya Keke. Cantik dan baik. Dia juga lucu pah, kalo aku lagi nggak mood untuk belajar, dia selalu membuatku tertawa, seakan semua hilang.
Aku bahagia dekatnya. Keke pernah bilang kepada ku, katanya ‘Tadi malam aku di bawakan sepeda sama Ayah ku, terus tadi sebelum berangkat sekolah aku diajari naik sepeda sama Ayah’. Katanya seperti itu, Yah. Ingin rasanya aku diajari sepeda sama Ayah. Tapi malah si mamang yang mengajari ku cara bersepeda.
Aku nggak marah, cuma aku kadang iri sama Keke yang tiap hari berangkat sekolah diantar sama Ayahnya.
Mungkin Ayah lupa kalau ada aku di rumah ini atau mungkin Ayah lupa kalau aku dilahirkan ke dunia ini sebagai anak dari seorang Bapak yang berbadan tegap seperti seorang pejuang perang ?
Yah.
Aku sayang Ayah.”
Sebuah surat untuk Ayah yang belum tersampaikan. Kini sudah dilipat rapi menjadi sebuah pesawat kertas.
“Bu, aku terbangin ya!”kata anak itu kepada ibunya. Lalu ibunya mengangguk kepadanya dan tersenyum.
“Bu, kalau pesawat ini aku lempar, nanti akan jatuh dimana ya?”.
Seorang anak dengan tinggi tidak lebih tinggi dari kaca spion mobil
sedan, berkulit sawo matang dan mempunyai mata biru itu bertanya kepada
Ibunya.
“Coba saja". sahut sang ibu.
“Wahhh! Ibu, pesawatnya jatuh di batu nisan Ayah” anak itu teriak kegirangan.
Memang sudah seharusnya pesawat kertas itu akan kembali ke pemiliknya.
Situs Online Terlengkap Dan Terpercaya
ReplyDeleteSatu User Id untuk Semua Permainan Online
Bandar Online Terbaik Mbo128
WhatsApp : 0852-2255-5128