Ibuku memiliki selembar foto kuno yang selalu ia perhatikan hampir
setiap saat. Di dalam foto itu, terdapat gambar sederet bangunan yang terlihat menggetarkan. Ada romantisme sekaligus kemegahan
dalam gedung-gedung tinggi dengan atap melengkung itu. Pernah suatu
ketika kutanyakan pada ibu mengenai tempat itu, lalu dia menunjukan
tempat itu yang ada di masa sekarang dengan raut muka yang susah
diterka. Berbeda seperti yang dalam gambaran hitam dan putih belaka, aku
melihat sebuah kota mirip seperti Venezia dengan kanal dan perahu, sementara
orang-orang berpakaian rapi dan terkesan kaku nampak sedang
berjalan-jalan menikmati hari. Nampaknya, foto itu diambil saat masa
penjajahan dulu … dulu sekali.
Aku cukup kecewa ketika datang ke tempat yang ada di dalam foto itu.
Semua kesan hangat kini berganti dengan hawa panas yang lengket. Saat
malam hari, bau rob, amis ikan, atau kubis busuk bertambah dengan pesing
yang menyengat semakin membuat kumuh tempat ini. Jika masih belum
cukup, silahkan tambahkan pelacur-pelacur tua dengan tubuh yang sama
sekali tidak menggairahkan di dalamnya. Namun, aku sadar bahwa waktu
memang bisa menggerus apa saja, mengenyahkan hal manis dan baik, untuk
kemudian mengempaskanmu sedemikian kerasnya pada masa sekarang yang
sungguh luar biasa keparatnya. Ibuku selalu menatap foto kota itu. Aku
tahu ada kenangan yang begitu kuat tentangnya. Aku tahu betul dari sorot
matanya, namun, aku tak tahu apakah hal itu berupa kenangan manis atau
getir, yang aku tahu hal itu sungguh menguras emosi.
Dia lebih sering
terlihat duduk di teras depan pada saat sore, dunia sekitarnya seperti
terhisap dalam selembar foto itu, dan dia akan mengabaikan apa atau
siapapun sepenuhnya. Dulu, saat kecil, aku kerap memprotes sikapnya,
namun kemudian, dia akan menatapku dengan sorot mata yang berubah-ubah :
benci, geram, sedih, tidak sering dia akan terlihat bahagia kemudian.
Andaikan saja aku punya ayah, mungkin dia akan mengelus kepalaku dan
menghiburku serta mengatakan, “biarkan saja, ibumu sedang bernostalgia,”
atau hal-hal lain semacamnya. Namun tak pernah ada sosok ayah bagiku,
ibu mengatakan bahwa ayah meninggal selagi aku dalam kandungan. Ibu
tidak pernah menceritakan seperti apa sosoknya, mungkin hal itu terlalu
menyakitkan baginya. Sanak saudara? Percayalah, tidak ada kata itu dalam
kamus hidup kami. Ibu mengatakan bahwa mandiri merupakan kunci untuk
tetap bertahan dalam kerasnya kehidupan.
Petuah itu nampaknya melekat benar padaku. Aku tak tahu apakah benar
begitu, ataukah aku sebenarnya dipaksa untuk menjadi sosok yang mandiri.
Pengabaian bisa mengubah seseorang menjadi pecundang, tapi aku memilih
untuk berjuang. Aku ingin hidup, dan aku ingin memahaminya. Maka
kemudian, aku belajar mati-matian di sekolah, melahap porsi pengetahuan
jauh lebih banyak dari yang seharusnya. Semuanya berbuah manis. Andaikan
masih hidup, Tesla pastilah gemetar saat mendengar namaku.
Pencapaianku mengubah hidup kami sepenuhnya. Aku punya segalanya
karena kesuksesanku, kecuali perhatian dari ibu. Bahkan, hingga dia
meninggal sekalipun aku tak pernah mendapatkan perhatiannya. Saat pemakamannya, aku teringat adegan sedih yang
kusaksikan dengan mataku sendiri saat Thomas Moore diseret ke Menara
London, sementara putrinya menangis dan tak henti-henti menciuminya.
Walau dia selalu mengabaikanku, ibu merupakan satu-satunya sosok paling
dekat denganku. Sungguh, hal itu terdengar sangat menyedihkan, namun
perlu diingat bahwa orang-orang terhebat yang pernah ada, merupakan
orang-orang yang paling kesepian.
Dan benar, sepeninggal ibu, kesepian itu begitu menghimpit dan amat
tak tertahankan. Satu bulan berlalu, dan aku tak bisa mencegah diriku
untuk masuk ke kamarnya. Entah apa yang hendak kucari; kenangan sekecil
apapun rasanya selalu layak untuk dikais. Saat pintu kamar terbuka
kubayangkan ibu sedang duduk menghadap jendela, rambutnya yang memutih
itu ditiup angin. Tidak ada banyak barang yang ia tinggalkan, segalanya
sederhana dan tak berlebihan. Kamar itu begitu hening, dan tanpa ada
sosoknya, kehampaan semakin terasa. Kemudian, kulihat foto kota itu
dalam laci meja. Foto itu terlihat menguning, kini, namun tak ada hal
luar biasa di dalamnya – setidaknya bagiku.
Apa makna dari foto ini?
Apa pentingnya?
Dalam emosi yang sungguh kacau, aku merasa cemburu yang tak
tertahankan pada foto itu. Kenapa mata hitam kecoklatan itu, dengan
segala kesayuannya selalu terarah pada lembar foto sialan ini? Kenapa
tangan yang tak pernah mengelus rambutku itu justru selalu mengusap foto
ini? Aku harus mencari tahu alasan di balik semua itu, setidaknya,
dengan memahami, aku bisa berdamai dengan kekosongan ini.
Tanpa pikir panjang lagi, aku ruang basement yang kupakai sebagai ruang kerja sekaligus ruang pribadi untuk menumpahkan segala isi
dalam kepala. Aku harus segera pergi, tujuanku telah ditetapkan dengan
jelas sesuai empat angka yang ada di balik foto itu. Gugup dan cemas tak
bisa kusingkirkan selama perjalanan. Aku tak bisa berpura-pura lagi,
aku tahu betul hanya pedih yang ada dalam kenangan ibuku mengenai tempat
itu. Aku tahu itu dari dulu, hanya saja aku tak mampu untuk
mengakuinya, aku tak mau. Pikiran dan rasa cemas terus menghantui hingga
kemudian, aku masuk ke dalam pintu kaca itu. Aku menekan beberapa tombol dan kemudian seberkas cahaya terang yang menyilaukan datang dan seperti
memakan seluruh tubuhku, kemudian aku tak sadarkan diri.
Tiba-tiba aku tersadar di sebuah gang gelap. Bau air laut menyambut
disertai dengan udara hangat khas kota pantai. Segalanya terjadi sangat
cepat. Suara teriakan tertahan dari seorang wanita dan geraman
menjijikan dari seorang pria. Aku tahu apa yang tengah terjadi dan
segera memburu sumber suara. Di sebuah ujung gang buntu, kulihat dua
sosok manusia dalam kegelapan: sosok pria itu nampak sedang menindih si
wanita. Aku berlari menuju mereka dengan tangan terkepal. Kuhantam
kepala si pria itu sekuat tenaga sehingga dia jatuh terjengkang.
Tubuhnya yang tidak setegap tubuhku terlihat menggigil antara terkejut
dan takut. Sebelum mengucap sepatah kata pun, kulayangkan tendangan ke
bagian bawah perutnya yang sudah tak tertutup celana. Jerit tertahan
keluar dari mulutnya dan tak dinyana, bulan yang sebelumnya tertutup
kabut memancarkan sinar pucatnya. Sungguh wajah pria itu terlihat begitu
pucat. Keterkejutan dan ngeri tergambar jelas, dan aku terpaku saat
melihatnya. Kesempatan itu tak disia-siakan pria menyedihkan itu, dia
kabur seperti seekor anjing aduan yang kalah.
Wanita itu kemudian mendekatiku, hendak berterima kasih nampaknya. Namun keterkejutan yang bisa kuduga menghentkan langkahnya.
“S-Siapa kalian ini?” desisnya.
Aku terdiam sejenak, kemudian aku memahami semuanya saat melihat mata hitam kecoklatan dengan segala kesayuannya itu.
“Serpihan kisahmu,” jawabku parau dan kurasakan pipiku terasa hangat oleh air mata kemudian.
Wanita itu maju selangkah, kemudian beberapa langkah lagi sehingga dia bisa meraba wajahku.
“Kalian begitu mirip,” ujarnya lirih. “Tapi … terima kasih karena
sudah menyelamatkanku,”
sambungnya. Kulit wajahnya yang kecoklatan
terlihat begitu ayu, dan bibirnya yang melengkungkan senyum tipis
sungguh membuatku bahagia.
Aku tak pernah melihat ibuku tersenyum dan kebahagiaan tak pernah
dekat padanya: sungguh pengorbanan yang sepadan. Kutatap lekat-lekat
matanya dan kuraih kedua tangannya yang rapuh dan kuusapkan pada
wajahku.
Hangat telapak tangannya begitu mendamaikan, dan mungkin, dia juga telah
menyadari apa yang sedang terjadi -- entah dengan cara yang seperti apa
-- sebab air mata mengucur dari kedua mata beningnya ketika tubuhku
mulai sirna bersama cahaya yang keluar dari retakan-retakan kecil di
atas kulitku. Kemudian, kuucapkan kata-kata yang seharusnya kuucapkan
dari dulu. Kata-kata yang mungkin bisa sedikit mengurangi kepedihannya,
kata-kata yang selalu ingin ku ucapkan hingga dia meninggal namun masih
urung terucap.
“Aku menyayangimu, Ibu ….”
Kemudian, tubuhku terpecah menjadi debu-debu kecil bersinar yang bertebaran.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
Situs Online Terlengkap Dan Terpercaya
ReplyDeleteSatu User Id untuk Semua Permainan Online
Bandar Online Terbaik Mbo128
WhatsApp : 0852-2255-5128