Love Destiny (Episode 5)


Rey menyesap minumannya secara pelan dan memandang ke luar jendela. Salju mulai turun lagi. Ia berdiri di sana beberapa saat, memandangi butiran salju yang melayang-layang di luar.

Ia menarik napas dalam-dalam. Yah... mungkin berada di sini bukanlah sesuatu yang buruk.

Ia berputar membelakangi jendela dan memandang ke sekeliling ruangan. Aula besar itu mulai ramai. Orang-orang terlihat gembira, saling tersenyum, tertawa, dan mengobrol. Seorang kenalannya tersenyum dan melambai ke arahnya. Ia balas tersenyum dan mengangkat gelas.

Tepat pada saat itulah ia melihat wanita itu.

Wanita itu baru memasuki ruangan. Matanya tidak berkedip mengamati wanita itu menyalami beberapa orang sambil tersenyum lebar. Aneh... Ia menyadari dirinya tidak bisa mengalihkan pandangan.

Ia melihat wanita itu mengambil segelas minuman dari meja persegi panjang bertaplak merah sambil bercakap-cakap dengan beberapa orang. Kemudian wanita itu mengangkat wajah dan memandang ke seberang ruangan. Tepat ke arahnya.

Mata mereka bertemu dan waktu serasa berhenti.

Aneh sekali. Otaknya tidak mengenal orang itu. Ia yakin ia tidak mengenal wanita itu. Tetapi kenapa sepertinya hatinya berkata sebaliknya?

Kenapa hatinya seakan berkata padanya bahwa ia sangat merindukan wanita itu?
“Kaukah itu,” ia berguman dengan mata berkaca-kaca.

Tiga bulan sebelumnya...
“Aku sudah memutuskan untuk cuti dan keliling dunia.”
Rey mengatakan itu secara tiba-tiba dan membuat Gyro sedikit terkejut. Namun Rey terlihat sangat serius saat mengatakannya. Tidak ada hal lain yang bisa dilakukan untuk mencegahnya ketika ia sudah memutuskan sesuatu. Walaupun ia bilang ‘cuti’. Sebenarnya ia akan benar-benar berhenti untuk hidup didunia bawah.
Masih terlalu pagi, bahkan untuk seekor ayam sekalipun. Tetapi Rey sudah sibuk membereskan barang-barangnya – memasukan beberapa pakaian ke dalam tas besar – sembari mengunyah sepotong roti tawar. Sejak ia mendapatkan kembali ingatan masa lalunya. Rey merasa harus pergi ke suatu tempat didunia ini. Dan satu-satunya tempat yang terlintas di pikiran-nya adalah...
“Aku akan pergi ke Amerika,” katanya dengan ponsel yang menempel di telinga kiri.
“Serius? Apa kau yakin?” suara Gyro terdengar dari ponsel.
“Ya,” jawab Rey.
Gyro terdiam sejenak, lalu berkata, “Sepertinya, tidak ada lagi yang bisa ku lakukan untuk mencegah mu.”
“Ya, kau butuh waktu seumur hidup untuk itu,” Rey tertawa kecil.
“Baiklah... umm, jaga dirimu baik-baik sobat.”
“Ya, kau juga.” Rey mengakhiri sambungan, lalu melempar ponselnya ke dalam kolam.
Ia terpekur sambil menatap riak ditengah kolam. Apakah dirinya baik-baik saja jika ia meninggalkan segalanya dan kembali ke kehidupan normalnya? Kehidupan normal...? Kehidupan normal itu seperti apa...? Ia sudah lupa.
Rey menyalakan motornya, lalu melesat cepat menuju bandara Soekarno-Hatta. Segala hal yang ia butuhkan sudah dipersiapkan; KTP, passport, dan dokumen penting lainnya. Tentu saja semua itu hanya berisi data palsu. Ia tidak benar-benar memiliki identitas yang pasti. Rey bisa menjadi siapa saja di dalam hidupnya. Ia hanya perlu menghubungi seseorang yang dia kenal ahli dalam hal ini. Memang ia harus membayar mahal untuk itu. Namun itu tidak masalah, karena Rey memiliki banyak uang yang ia dapatkan dari pekerjaan gelapnya.
Singkat cerita, Rey sudah berada di dalam pesawat yang lepas landas. Ia di sisi kanan bagian belakang pesawat yang dekat dengan jendela. Ia mengatur posisi duduknya hingga terasa nyaman dan langsung memejamkan matanya.

Rey terbangun karena mendengar suara tangisan. Tidak di dalam pesawat, melainkan di hutan yang sama persis seperti yang ada di dalam mimpinya.
Mimpi ini lagi? Bukan, ini berbeda dari yang sering aku alami... Dan lagi, aku tidak dalam wujud Argadhana... Aku masih tetap Aku... pikirnya langsung. Rey mendengar suara tangisan lagi. Semakin lama semakin sering suara itu terdengar. Ia memutuskan untuk mengikuti asal suara itu, berjalan ke dalam hutan yang gelap. Suaranya terdengar semakin keras. Nampaknya ia berjalan ke arah yang benar. Rey berjalan terus ke depan, menembus tebalnya semak belukar.
Akhirnya berhasil keluar dari kerumunan semak-semak. Rey menemukan sebuah bangunan tua yang mirip seperti penjara. Pintu bangunan itu terbuat dari besi serta jendelanya dipagari oleh batang-batang besi. Suara tangisan itu kembali terdengar ditelinga Rey. Namun kali ini sudah sangat jelas... Rey sangat yakin bahwa suara itu berasal dari dalam bangunan. Matanya mencoba menyenter ke dalam melalui jendela kecil yang ada di pintu. Namun tidak tampak apapun, kecuali ruang gelap yang berbau lembab.
“Halo... Apakah ada seseorang disana?” Rey berteriak, namun tidak mendapat jawaban apapun. Ia mengamati setiap sudut ruangan. Sangat gelap, ia tak bisa melihat lebih jauh. Entah kenapa... Rey merasakan sesak di bagian dada. Dan untuk pertama kalinya, ia merasakan sesuatu yang mirip seperti sebuah keputusasaan.
Sampai wanita itu tiba-tiba saja muncul... ia berjalan pelan dari sisi gelap ruangan, menghampiri Rey yang berada di balik pintu besi. Wajahnya tampak sedih dan basah karena air mata.
“Wulan!” Rey terkejut seketika, saat wajah wanita itu mulai terlihat jelas.
“Argadhana?!” Wulan berbicara dengan suara serak, “Tolong Aku, keluarkan aku dari sini.”
“Aku akan melakukan sesuatu, tunggulah sebentar.”
Kemudian Rey mencoba mendobrak, menendang, bahkan memukul pintu itu. Namun ia tidak berhasil membukanya, sekeras apapun usaha yang telah ia keluarkan.
“Sial...! Sial...! Kenapa aku tidak bisa membuka pintu ini?” Rey berkata dengan tangannya yang masih memukul-mukul pintu besi itu.
“Tidak... kamu tidak akan bisa,” Wulan berkata tiba-tiba, “Pintu ini... Tidak akan pernah terbuka.”
Mata Rey terbelalak setelah mendengar itu, “Apa? Kenapa tidak?”
“Karena aku tidak menginginkannya,” jawab Wulan dengan wajah sedikit tertunduk.
“Tidak mungkin... Kenapa Kau... Eh...” Rey merasakan air matanya mengalir.
“Tolong keluarkan aku dari sini,” Wulan berbicara lagi, suaranya terdengar lirih. “Tolong aku... Argadhana.”
Rey mulai merasa kebingungan. Mengapa Wulan mengatakan dua hal yang saling bertolak belakang? Mengapa ia ingin keluar dari sana, padahal baru saja ia mengatakan bahwa ia tidak menginginkannya? Apa kau ingin aku melakukan sesuatu, Wulan?
“Wulan... Aku...” Belum selesai bicara. Tiba-tiba Rey merasakan tubuhnya di tarik sangat keras. Ia terpental masuk ke dalam hutan.
Wulan mengulurkan tangannya melalui celah jeruji, “Tolong aku... Argadhana.”
“Tidak! Wulan,” Rey berteriak sambil mengulurkan tangannya ke depan. Lalu semuanya berubah menjadi gelap.
Rey terbangun secara spontan, hingga membuat tubuhnya sedikit terguncang. Seorang penumpang yang duduk di sampingnya terkejut dan menatapnya heran.
“Anda baik-baik saja?” tanya Pria bule berjas abu-abu yang duduk di sampingnya. Dia bertanya dalam Bahasa Inggris.
Rey mengusap keringat didahinya, lalu menjawab dengan Bahasa Ingris pula... “Ya, saya baik-baik saja. Terima kasih sudah bertanya.”
“Oh, syukurlah kalau begitu.” Pria itu sedikit tersenyum, lalu kembali bersandar di kursinya.
Rey menoleh ke arah jendela, Sudah malamkah? Jam berapa ini? Ia mengerang pelan, lalu memejamkan mata sejenak. Ia masih lelah sekali. Badannya menolak untuk bergerak. Ia berpikir untuk melanjutkan tidurnya.

Beberapa jam kemudian pesawat telah mendarat di JFK Airport, New York. Dari bandara, ia langsung memutuskan untuk naik taksi. Karena tubuhnya masih terasa sangat lelah setelah penerbangan.
Di depan bandara, ia langsung di jemput oleh mobil taksi berwarna kuning. Rey masuk ke dalam dan menyebutkan sebuah alamat kepada supirnya. Supir taksi tersebut adalah seorang Pria paruh baya yang tersenyum sangat ramah.
“Anak muda, kau kelihatan sangat lelah. Ingin minum air?” supir itu memulai obrolan, sambil menawarkan sebotol air mineral.
“Tidak, terima kasih,” Rey menolak dengan sopan.
Pria itu sedikit mengangkat bahu, “Baiklah, terserah.”
“Hei Mister, berapa lama untuk sampai di Boston?” Rey bertanya.
“Sekitar empat jam... atau mungkin lima jam. Tergantung kondisi lalu lintas sih,” jawab pria itu tanpa menoleh.
“Itu cukup... Jauh,” kata Rey sambil mengangguk-angguk.
Pria itu tertawa, “Begitulah nak.”
“Nak, kau terlalu muda untuk seorang turis. Apa yang ingin kau lakukan di Amerika?” supir itu bertanya lagi.
Rey menjawab dengan santai, “Aku... umm, mau kuliah di sini.”
Supir itu melirik kaca spion, “Benarkah?”
“Ya, aku juga sedang mencari seseorang,” Rey menambahkan.
“Seorang Pria atau Wanita?” tanya supir taksi.
“Wanita,” jawab Rey singkat.
Kemudian supir taksi itu tersenyum penuh arti, “Apa kalian sedang menjalani suatu hubungan?”
“Tidak, kami bahkan tidak pernah bertemu.”
Supir taksi itu mengangguk, ia berhenti berbicara dan mulai fokus ke depan.

Empat jam telah berlalu sejak perjalanan Rey dari bandara JFK. Sekarang ia sudah berada di Boston. Supir taksi itu memberhentikan mobilnya di depan gedung Hotel Carltz. Rey segera turun dari taksi dan memberikan beberapa lembar uang dolar kepada supir taksi itu.
“Simpan saja kembaliannya.”
“Kau anak yang baik. Aku yakin kamu pasti akan menemukan apa yang kamu cari. Hanya satu nasihatku, dengarkanlah kata hatimu. Jika hati kalian memang sudah terhubung, maka kamu akan bisa menemukannya.” Si supir langsung pergi setelah mengatakan itu.
Rey tersenyum sambil masih melihat ke arah taksi itu, “Kata hati? Anda sangat pandai berkata-kata tahu? Jika anda mampu menyusun semua kalimat itu. Kenapa anda memilih untuk menjadi supir taksi? Padahal anda akan menghasilkan buku yang bagus jika menjadi seorang penulis.” batinnya dalam hati.
Kemudian Rey masuk ke dalam hotel. Ia mendatangi meja resepsionis. Dan seorang wanita berusia sekitar 24 tahun menyambutnya.
“Selamat datang di Hotel Carltz. Ada yang bisa kami bantu?”
“Beberapa minggu yang lalu, aku memesan sebuah kamar di hotel ini. Bisa anda cek?” pinta Rey.
“Boleh saya tahu nama lengkap anda?” tanya resepsionis itu.
Rey menjawab, “Rey.”
“Itu saja?” tanya resepsionis itu meyakinkan.
Rey menegaskan, “Ya, sejak lahir.”
“Mr. Ray... Anda telah memesan kamar untuk satu minggu, benar?”
“Ya, benar.”
Resepsionis itu mengeluarkan buku tebal dari bawah meja, “Kalau begitu, silahkan tanda tangan di sini.”
“Tentu,” kemudian Rey menandatangani di atasnya.
“Itu sudah cukup,” Resepsionis itu mengambil sebuah kunci dan memberikannya kepada Rey, “Ini kunci untuk kamar 502, letaknya ada di lantai sepuluh. Biar saya panggilkan seseorang untuk mengantar anda.”
“Ah, tidak perlu. Saya akan ke sana sendiri saja.”
“Baiklah kalau begitu. Selamat beristirahat, Tuan.” Resepsionis itu tersenyum ramah kepada Rey.

Rey sudah berada di dalam kamar hotel. Penerbangan dari Indonesia ke New York menguras tenaganya dan membuatnya jet-lag. Ia memang tidak pernah suka melakukan penerbangan jauh.

Tenggorokannya kering. Ia harus minum sebelum tubuhnya dehidrasi. Kapan terakhir kali ia minum? Ia tidak ingat. Mungkin sewaktu di pesawat. Rey duduk di tepi ranjang. Ia mengusap wajah dengan kedua tangan untuk sedikit menyadarkan diri.

Sinar bulan dan lampu kamar yang remang-remang itu sudah cukup bagi Rey. Ia tidak mau menyalakan lampu utama karena matanya bahkan belum terbiasa dengan penerangan samar yang ada, apalagi sinar lampu yang terang benderang. Ia haus dan ia baru menyadari bahwa perutnya juga lapar. Kapan terakhir kali ia makan? Sewaktu di pesawat? Ia ingat ia hanya makan sedikit di pesawat karena sama sekali tidak berselera. Pantas saja sekarang ia kelaparan.

Rey menelepon layanan kamar untuk memesan makanan. Ugh... setelah ini, mungkin aku akan tidur seharian.

G+

1 komentar:

  1. ingin mendapatkan uang banyak dengan cara cepat ayo segera bergabung dengan kami di f4n5p0k3r
    Promo Fans**poker saat ini :
    - Bonus Freechips 5.000 - 10.000 setiap hari (1 hari dibagikan 1 kali) hanya dengan minimal deposit 50.000 dan minimal deposit 100.000 ke atas
    - Bonus Cashback 0.5% dibagikan Setiap Senin
    - Bonus Referal 20% Seumur Hidup dibagikan Setiap Kamis
    Ayo di tunggu apa lagi Segera bergabung ya, di tunggu lo ^.^

    ReplyDelete