Love Destiny (Episode 6)


18 Desember 2014...

“Maaf aku terlambat,” kata Aira yang langsung segera duduk didepan Freya. Aira langsung mengatur nafasnya yang tergesa.

“Ada apa? Kenapa kamu tidak bersama dengan Jake?” tanya Freya dengan kedua lengan dilipat ke depan dada. Ia mengerutkan kening dan menatap Aira.

Aira segera menjawab, “Anu, tadi ada beberapa masalah sih...”

Mereka berdua sedang berada di kantin Harvard University. Di sana lumayan ramai, hari ini Jam kuliah di persingkat karena para staff Universitas sedang mengadakan rapat darurat.
Beberapa bagian kantin sudah dihiasi dengan hiasan natal, karena sebentar lagi natal akan tiba. Udara di Amerika pun terasa semakin dingin seiring datangnya musim dingin.

“Jadi si bodoh itu terlibat masalah lagi?” kata Freya sambil menyandarkan diri ke kursi.

Aira mengangguk, “Begitulah.”

“Terus... Dia baik-baik saja?” tanya Freya.
Aira menjawab, “Ya... Kami beruntung, seseorang telah menolong kami.”

“Serius? Siapa orang bodoh yang berani berurusan dengan geng berandalan si Billy?” tanya Freya heran.
“Aku tidak kenal sih. Sepertinya dia mahasiswa baru,” kata Aira dan mulai tersenyum aneh, “Dia itu keren banget loh.”
“Hah?” Freya menatap aneh ke arah Aira yang kini sedang melamun. Lalu tiba-tiba...
“I-Itu dia... pria itu...” Aira mendadak heboh dan menunjuk-nunjuk ke arah belakang Freya.
“Eh, Siapa sih?” Freya memutar kepalanya. Matanya langsung tertuju kepada sosok laki-laki bertubuh tinggi. Ia berjalan dengan santai di koridor seorang diri. Sekilas ia berpikir bahwa laki-laki itu memang terlihat sedikit keren. Tinggi dan berkulit putih, merupakan tipe pria yang selalu Freya sukai. Di saat yang sama, perasaan aneh itu muncul kembali. Perasaan yang sudah lama ia segel jauh di dalam pintu hatinya.
Suara jentikan jari membangunkan Freya dari lamunannya. Ia memutar kembali pandangannya ke arah Aira. Freya jadi salah tingkah melihat Aira yang menatapnya dengan penuh arti.
“Bagaiamana menurutmu?” tanya Aira tiba-tiba.
“Eh... Apanya yang bagaimana?” Freya balik bertanya.
Aira mendecakkan lidah, “Pria itu. Dia keren bukan?”
“Entahlah... mungkin iya, mungkin juga tidak. Terserahlah...” kata Freya yang hendak berdiri dari kursinya, “Aku ingat ada rapat yang harus aku hadiri saat ini. Aku pergi dulu.”
Aira memasang wajah kecewa, “Tunggu! Kita bahkan belum memesan apa-apa.”
“Yah... kita batalkan saja acara pertemuan yang gagal ini, Bye...” kata Freya dengan acuh tak acuh dan langsung pergi.
Kemudian Aira mengoceh dengan wajah yang cemberut,“Huh, kau masih saja bersikap seperti itu. Padahal kita ini sudah lama berteman.”
Teman ya? Freya membatin. Sebenarnya, ia sudah tidak lagi menganggap siapapun sebagai teman. Walaupun Aira sangat dekat dengannya. Freya hanya menganggapnya sebagai... sebagai penghilang rasa sepi mungkin. Karena Freya sudah tidak ingin mempercayai siapa pun lagi di dalam hidupnya.
Entah kenapa ia ingin sekali menundukkan kepalanya. Padahal ia sudah lama tidak menundukkan kepalanya seperti ini. Kenapa?
Karena Freya belum pernah merasakan perasaan ini lagi, semenjak... semenjak hari itu.

Sebuah Sekolah Dasar sepuluh tahun yang lalu...
Saat itu jam pulang sekolah. Freya berjongkok menunggu Nilam di samping gedung sekolah sambil mengorek-ngorek rumput dengan kedua tangannya. Nilam harus menyelesaikan hukuman yang diberikan guru karena ia baru saja ribut dengan salah seorang anak di kelas tadi pagi. Freya sudah lupa siapa nama anak perempuan menjengkelkan itu, tapi yang jelas anak itulah yang memulai kekacauan tersebut.

Ah, kalau tidak salah nama anak jahat itu Kintan. Ia merampas kertas ulangan Freya yang mendapat nilai 100 dan meremasnya sebelum akhirnya dilemparkan ke luar jendela. Freya tahu Kintan sudah

iri padanya yang selalu mendapat nilai 100 di kelas. Sebenarnya kertas itu tidaklah berarti. Namun yang berarti adalah isi dari kertas itu yang ingin ia tunjukkan kepada Ibu nya. Ia tahu betul akan mendapat pujian darinya.

Tapi Kintan nekat merampas kertas itu dan “menjatuhkannya” ke luar

jendela. Katanya ia tidak sengaja, tapi tentu saja hanya orang buta dan tuli yang percaya padanya. Nilam yang pada dasarnya lebih galak langsung mengamuk dan menyerang Kintan. Saat itulah guru datang dan melihat Nilam melancarkan jurus menjambak-kucir-rambut yang ganas.

Dengan wajah cemberut menahan tangis kesal sambil sesekali menggaruk tangannya yang gatal, Freya menunduk dan mencari-cari di antara rerumputan. Ayolah, aku hanya ingin menunjukkan itu pada ibu.

“Sedang apa?” terdengar suara seorang anak lelaki.

Kepala Freya berputar ke arah suara itu. Matanya menyipit sedikit karena silau. Ia mengangkat sebelah tangan untuk menaungi mata dan barulah ia bisa melihat dengan jelas siapa yang berbicara. Ternyata seorang anak laki-laki bertubuh tinggi dan berkulit putih. Usia anak itu pasti seumuran dengan Freya. Kelihatannya asing. Anak dari sekolah lain?

Entahlah, Freya belum pernah melihatnya sebelum ini.

“Sedang apa?” tanya anak laki-laki itu lagi.

Freya ragu sejenak, lalu bergumam pelan, “Mencari sesuatu.”

Anak laki-laki itu berjalan mendekat. “Mencari apa?”

“Kertas,” jawab Freya singkat, lalu kembali menunduk mencari-cari di rerumputan.

Karena tidak mendengar sahutan, Freya menoleh dan melihat anak itu sudah ikut mencari-cari.

Baru saja Freya kembali memusatkan perhatian pada tanah di sekeliling kakinya, ia mendengar anak laki-laki itu berseru, “Namamu Freya?”

Freya menatapnya dengan heran dan mengangguk. “Ya.”

Anak laki-laki itu tersenyum lebar dan mengacungkan kertas yang sudah lecak di tangan kanannya. “Ketemu!”

“Benarkah?” Freya melompat berdiri dan berlari menghampiri anak itu.

Anak laki-laki itu menyerahkan kertas ulangan yang bertuliskan nama “Freya” kepada Freya. “Ngomong-ngomong, kenapa kau begitu membutuhkannya?” tanya dia dengan nada ramah.

Freya mendongak menatap wajah yang keheranan itu. Ia baru akan membuka mulut untuk menjelaskan, tapi anak laki-laki itu menoleh ke arah lapangan dan melambai. Freya mengalihkan pandangannya ke arah yang sama dan melihat sekumpulan remaja berdiri di sana, dua anak perempuan dan dua anak laki-laki.

Semuanya terlihat asing.

“Aku pergi dulu,” kata si anak laki-laki. “Kau juga lebih baik cepat

pulang.”

Begitu anak laki-laki itu pergi. Nilam berlari-lari ke arah Freya sambil menggerutu panjang-pendek. Freya cepat-cepat menariknya mendekat. Ia tahu Nilam mengenal banyak orang. Mungkin ia tahu siapa anak laki-laki itu. Dan Nilam memang tahu. Kata Nilam dia dan keempat temannya bersekolah di SD yang terletak tidak jauh dari sekolah Freya, mereka biasa meminta sumbangan dari sekolah ke sekolah lainnya untuk korban bencana alam. Sayangnya... Nilam tidak tahu siapa nama anak laki-laki itu.
Tidak lama setelah itu. Ibu Freya datang menjemput mereka dengan mobil pribadinya. Saat jendela depan terbuka, tampaklah wajah Ibu Freya yang masih muda. Mereka berdua masuk kedalam mobil itu dengan penuh kegirangan. Freya duduk di kursi depan, sementara Nilam duduk di kursi belakang. Lalu, mobil itu mulai berjalan.
Freya menyodorkan kertas ulangan itu kepada ibunya, “Ibu lihat, aku dapat seratus lagi.”
“Anak Ibu memang pintar...” kata Ibunya sambil mengusap kepala Freya, “Nah, kalau Nilam bagaimana?”
Nilam menjadi gelagapan ketika ditanya seperti itu, “Eh, anu... Aku... Eh...”
Kemudian, ia menunjukkan kertas yang bertuliskan angka 75 kepada Ibu Freya. Tangannya tampak gemetar saat itu.
“Eh? Nilaimu turun lagi ya? Apa kamu tidak belajar?” Nada bicara Ibu Freya mendadak berubah menjadi dingin.
Nilam menundukkan wajahnya yang muram, “Ma-Maaf Nyonya, saya akan berusaha lebih giat lagi.”
Dan Ibu Freya mulai mengomel, “Jangan cuma berkata maaf saja! Aku sudah mengeluarkan banyak uang untuk menyekolahkan mu tahu? Bisakah setidaknya kamu mendapatkan yang lebih baik dari ini?”
“Ibu, tolong jangan memarahi Nilam terus. Dia itu anak baik, dia juga selalu menolongku dari para pengganggu.” Freya berusaha meredam kemarahan Ibunya.
Ibu Freya menarik nafas panjang, “Sepertinya anak ku tidak ingin aku memarahimu. Tapi lain kali, berusahalah untuk mendapat nilai yang bagus seperti dia.” Ibu Freya menegaskan.
“Y-Ya, Nyonya.”
Ekpresi wajah Nilam mendadak berubah menjadi kesal. Tangannya ia kepal keras-keras seolah ia sedang marah saat itu. Freya hanya bisa melihatnya dari kursi depan dengan tatapan iba. Lalu Freya kembali menghadap ke arah depan, matanya tertuju pada kertas ulangan yang sedari tadi masih ia pegangi.
Tiba-tiba tetesan air jatuh di atas kertas tersebut... satu, dua, tiga tetesan air mulai berjatuhan. Freya merasakan sesuatu mengalir deras dari kedua matanya. Loh? Aku kenapa?
Freya menyadari dirinya sedang menangis. Anehnya, ia sama sekali tidak tahu penyebabnya. Pikirannya terasa kosong, satu-satunya hal yang terbayang di pikirannya hanyalah sosok laki-laki yang selalu muncul di dalam mimpinya. Dia juga merasakan rindu yang sangat mendalam. Mengapa ia sangat ingin bertemu kembali dengan lelaki itu?
Freya segera menghapus air matanya, dan berusaha untuk segera mengenyahkan perasaan aneh itu dari dalam hatinya. Sebelum Ibunya atau Nilam menyadari dirinya yang sedang menangis tanpa sebab yang jelas.

-***-

Freya sudah berada di dalam mobil VW merah nyentriknya. Dia tersenyum kecil, mengenang kejadian sepuluh tahun yang lalu. Hari dimana ia bertemu dengan seseorang yang di pilih untuk menjadi cinta pertama nya. Tapi sekarang sudah berbeda. Freya sudah tidak memperdulikan hal seperti itu. Dia juga sudah melupakan ‘lelaki’ yang selalu muncul di dalam mimpi dan tidak berpikir untuk menunggu kedatangannya lagi.
Satu-satunya hal yang dia pikirikan hanyalah... Bagaimana caranya bertahan didunia yang penuh dengan kepalsuan ini?

Sementara itu...
“Kau tadi bicara dengan siapa, Rey?” tanya Deni yang bertubuh pendek sambil menoleh ke belakang.

Rey memutar kepala temannya itu kembali ke depan. “Bukan siapa-siapa. Kenapa kalian kepo sekali?”

“Kepo?” Mata Tio melebar terkejut. “Kami tidak pernah melihat kau berbicara dengan anak perempuan sebelumnya. Umm... Kecuali Ani dan Lia.”

Rey pura-pura tidak mendengar.

“Sekarang kita mau ke mana?” tanya Ani sambil melirik jam tangan.

Lia berkata sambil melihat daftar sekolah yang belum di cek lis, “Bagaimana kalau kita pergi ke SDN 69?” usulnya.

“Eh, bukannya itu jauh dari sini?” kata Deni.

“Ngomong-ngomong, kita sudah mengumpulkan berapa banyak?” tanya Tio sambil mendekat ke sisi Lia.

Lia menjawab, “Sejauh ini, baru enam puluh lima persen dari target yang ingin kita capai.”

“Wah, penghasilan bulan ini besar juga,” kata Ani, “Loh, Rey. Kamu kok diam saja sih dari tadi?”

Semua teman Rey menoleh ke belakang. Mereka melihat Rey yang sudah tertinggal agak jauh di belakang. Dia berdiri disana dengan kepala tertunduk ke bawah.
“Rey, kau sedang apa!?” Deni berteriak, namun Rey tidak menjawab.

Teman-temannya merasa kebingungan dengan sikap aneh Rey.
“Hey, ada apa dengannya?” Lia berbisik kepada teman-temannya.
“Entahlah,” Tio menjawab sambil menggelengkan kepalanya.
Sebenarnya Rey sengaja menjaga jarak saat itu. Karena ia tiba-tiba saja menangis tanpa sebab, seperti yang ia alami saat usianya masih 4 tahun.
Rey beruntung mereka tidak segera menyadari sikap anehnya beberapa saat yang lalu. Dia hanya tidak ingin dirinya dipermalukan lagi oleh fenomena ini. Rey segera menghapus air matanya sebelum teman-temannya kembali meneriakinya. Kemudian langsung berjalan menghampiri teman-temannya. Sebelum salah satu dari mereka memutuskan untuk menghampirinya duluan.

 -***-

“Selamat Mr. Rey... Anda telah diterima di Universitas kami,” kata seorang Pria yang memakai kacamata, “Hasil tes anda benar-benar luar biasa.”
Rey dan Pria itu saling berjabat tangan, “Terima kasih banyak, senang bisa diterima disini.”

G+

1 komentar:

  1. ingin mendapatkan uang banyak dengan cara cepat ayo segera bergabung dengan kami di f4n5p0k3r
    Promo Fans**poker saat ini :
    - Bonus Freechips 5.000 - 10.000 setiap hari (1 hari dibagikan 1 kali) hanya dengan minimal deposit 50.000 dan minimal deposit 100.000 ke atas
    - Bonus Cashback 0.5% dibagikan Setiap Senin
    - Bonus Referal 20% Seumur Hidup dibagikan Setiap Kamis
    Ayo di tunggu apa lagi Segera bergabung ya, di tunggu lo ^.^

    ReplyDelete