Love Destiny (Episode 3)


Tahun 1999...

Namaku Freya, lahir pada 1 Desember 1994 masih berusia 5 tahun dan hidup bahagia bersama keluargaku. Apalagi aku adalah anak yang dibanggakan orang tuaku bahkan melebihi kakakku yang beda usianya 3 tahun.

“Ibu, aku dapat nilai 100 lagi, nih!” Kataku berlari masuk kedalam rumah.

“Wah, hebat dong!” Puji ibuku lalu memeluk dan mencium kedua pipiku.

Masa itu adalah masa terindah dalam hidupku. Walau ayahku tidak mempedulikanku, aku tidak sedih maupun menderita, karena aku memiliki ibu yang selalu mendukung dan menyayangi diriku apa adanya. Diantara begitu banyak kebaikan dalam hidupku, hanya satu hal yang membuatku merasa tidak nyaman.. yaitu perasaan bahwa aku menunggu seseorang. Aku tidak tahu siapa dan mengapa.. Yang aku tahu, aku mulai merasakan itu semenjak aku mulai bisa berpikir dan mengingat.

Tanpa terasa 10 tahun berlalu. Banyak perubahan yang terjadi dalam diriku dan sekitarku. Misalnya saja dengan kepergian kakak untuk kuliah dan kehadiran adik perempuan yang saat itu sudah berumur 7 tahun. Hanya satu hal yang tidak berubah, yaitu perasaan bahwa aku sedang menunggu seseorang. Yang aku tahu, dia adalah lelaki.

“Freya... Freya!!!” Itu pasti teriakan pengurusku.

“Ada apa, Nilam?” Kataku malas-malasan

“Apa maksudmu dengan `ada apa`?! Sekarang sudah hampir pukul 8. Kamu mau terlambat lagi, hah?! Kamu ini sudah 15 tahun, Freya... 15!! Bangun saja masih harus dibangunkan orang lain.. Kamu tidak malu apa?!”

Aku melihat jam, “Oh,benar juga! Gawat!!” Teriakku bangkit dan berlari ke kamar mandi.

“Dasar anak itu..” Gerutu Nilam sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.

Bisnis orang tuaku berhasil 7 tahun yang lalu dan sekarang kami telah menjadi keluarga yang terpandang. Dan orang tua kami memberikan pengurus untuk kami masing-masing. Pengurusku bernama Nilam. Dia orang yang baik yang sudah bersamaku sejak kecil.

Setelah bersiap-siap, tentu saja aku segera pergi ke sekolah. Sesampainya di sekolah ternyata guru sudah menunggu di depan pintu gerbang bersama dengan sekelompok anak yang sama sepertiku. Kelompok anak-anak yang terlambat. Akhirnya kami harus berlari 10 putaran di halaman sekolah untuk dapat masuk kelas.

Setelah akhirnya 10 putaran…

Nafasku terengah-engah, “Pak, saya.. Sudah.. Selesai 10.. Putaran… Boleh.. Saya.. Masuk?”

“Kamu Freya, ya? Lain kali jangan ulangi perbuatanmu. Kamu boleh masuk”

“Te... Terima kasih!!”

Sesampainya dikelas..

“Sampai..” Aku melihat sekeliling. Ketika aku tidak melihat guru, aku heran dan bertanya pada teman yang ada di dekatku, ”Pak guru dimana?”

“Sekarang kita diminta belajar sendiri dulu, Pak Guru sedang mengurus urusan mendadak. Kamu beruntung sekali bisa masuk saat beliau pergi”

Aku tertawa pelan, “Begitu ya. Tapi hari ini ada ulangan matematika, kan?”

“Iya, kamu duduk saja dulu..”

Aku berjalan ketempat dudukku yang berada tepat dibelakang teman akrabku yang bernama lengkap Aira, lalu berkata, ”Kamu sudah belajar?”

“Sudah, dong…”

“Nanti bantu aku, ya.. Please…”

“Oke.. Oke… Kamu ini sesekali belajar,dong!”

“Malas..” Jawabku. Aku tidak memiliki keinginan untuk belajar, karena aku adalah seorang pemalas. Aku mengakui itu. Walau aku memiliki alasan, pemalas tetaplah pemalas.

Setelah itu kami beristirahat.. Aku memakan bento yang dibuat oleh Nilam. Dia sangat pandai memasak.

Setelah itu kami ulangan. Tentu saja aku tidak tahu apa-apa tentang materi yang menjadi soal ulangan itu. Tapi temanku mau membantuku. Ia teman baikku.

Aku memiliki banyak hal baik dalam hidupku. Aira dan Nilam, itu sudah lebih dari cukup bagiku. Walaupun ayah tidak mempedulikanku sejak dulu dan kehangatan ibuku telah hilang. Bukan berarti dia meninggal. Dia menjadi sangat mirip dengan ayahku sejak aku menyadari apa yang dia sayangi dariku.

Hari ini semuanya berakhir.. Sekolah telah usai...

“Aira!!! Aira!!! Aduh, kemana sih dia..”

“Aku disini..” Terdengar suara Aira dari belakangku. Tapi aneh... Suaranya terdengar aneh. Bukan nada suara yang biasa kudengar. Aku-pun berbalik. Tapi tiba-tiba saja, sesuatu mendekap mulut dan hidungku dan tercium aroma yang aneh. Tiba-tiba aku kehilangan kesadaran.

-***-

Tubuhku terasa berat dan otakku sulit berifkir. Aku membuka mata dan berpikir “Kenapa aku? Sebelum ini aku mencari Aira dan kemudian...”

Aku ingat sekarang. Ada yang membekap mulutku dan membuatku pingsan.

“Dia sudah bangun.” Aku mendengar suara yang tidak asing lagi di telingaku.

“Aira..” Panggil suaraku yang serak dan lemah.

“Aku disini.” Ia memakai kata dan nada yang sama seperti sebelumnya.

Akhirnya aku mengerti kalau aku sedang diculik. Tapi kenapa Aira ada disini? Apakah dia ikut terlibat? Oh, tidak! Ini salahku!!

“Maaf ini salahku.. Salahku sampai kau terlibat”

“Hahaha.. Salahmu?! Aku ikut terlibat?! Ternyata efek dari obat itu masih mempengaruhi otakmu ya? Lihat Aku!!”

Aku keheranan lalu mendongak kearah suaranya dan melihat dia tersenyum. Bukan senyuman yang biasa kulihat. Itu adalah senyuman mengejek yang dingin.

“Apa aku terlihat seperti anak yang sangat baik hati dan sekarang ketakutan karena terlibat dalam penculikan?”

Pikiranku mulai jernih sekarang.Kalau dipikir-pikir, pada saat itu suara Aira datang dari arah belakang dan aku juga dibekap dari arah yang sama.

“Apakah kamu yang menculikku?”

“Mengerti juga akhirnya.”

“Jadi benar?”

“Tentu saja!”

“Mengapa?! Kau sahabatku bukan?!”

“Hah.. Aku? sahabatmu?! Jangan bercanda! Aku sangat membencimu, tahu!! Aku dekat denganmu hanya untuk melihat hari ini.”

Aku tercengang dan berkata “Kamu berteman denganku hanya demi penculikan ini? Kenapa?! Kenapa harus berteman denganku dulu?! Kenapa tidak langsung menculikku?!” Kekuatan tubuhku sudah mulai kembali.

Ia terdiam sesaat lalu berkata, “Apa boleh buat. Penjagaan disekitarmu sangat ketat. Bahkan lebih ketat dari yang kau ketahui. Aku harus masuk ke kehidupanmu dulu supaya bisa menculikmu”

“Jadi kamu mengkhianatiku?”

“Hei.. Hei.. Kamu dengar penjelasanku tidak? kata `mengkhianati` tidak cocok disini karena aku tidak pernah sedetikpun menganggapmu seperti apa yang kamu kira”

“Kamu menipuku?” Koreksiku.

Ia nyengir “Itu lebih tepat. Nah, sekarang diamlah disitu dan jadilah anak manis selama kamu disini. Ada yang harus kukerjakan”

Aku melihat sesuatu jatuh dari sakunya. Dia tidak boleh menyadarinya “Dengan rekanmu?” Kataku keras-keras, menyembunyikan suara yang timbul ketika benda itu menyentuh tanah.

“Ya” Dan dia pergi.

Walaupun dia sudah lama terlibat dalam rencana ini, aku yakin dia bukanlah seorang profesional. Mana mungkin seorang pro berbicara terlalu banyak dengan sanderanya dan menjawab pertanyaan sanderanya mengenai kegiatannya. Bahkan, aku mengambil benda yang terjatuh itu dan memasukkannya ke lubang gembok rantai di kakiku. Dia menjatuhkan kunci yang sangat penting. Klik... Gemboknya terbuka.

Aku berdiri dan merenggangkan kakiku lalu mulai berpikir, “Sekarang bagaimana cara untuk kabur?”

Lalu aku melihat sinar matahari lewat dari jendela dengan kaca yang sudah pecah sebagian dan kayu yang sudah lapuk. Kelihatannya sekarang masih siang. Aku langsung memecahkan kacanya dan mengeluarkan kayunya kemudian kabur melewatinya. Ini terlalu mudah.. Dia dan komplotannya benar-benar masih amatiran. Sayang HP-ku tidak ada. Pasti diambil ketika aku sedang tidak sadar. Sekarang yang harus kulakukan adalah pergi ke jalan raya dan pergi ke rumah untuk bersama dengan Nilam. Aku masih punya dia walaupun ternyata Aira adalah musuhku.

Aku berlari menuju jalanan. Ketika aku menemukannya, aku langsung memanggil taksi dan melaju ke rumah.

Dalam perjalanan, aku melihat Nilam sedang berjalan sambil menenteng tas belanja “Stop!” Taksi langsung berhenti mendadak.

“Tunggu sebentar, pak!” Seruku dan turun. “Nilam!! Nilam!!”

Ia melihat kearahku dan dia terlihat kaget. Yaah, aku tidak bisa menyalahkannya sih. Ini bukan jalan sekolahku dan penampilanku pasti berantakan.

Ia berlari kearahku dan mendapatiku, “Ya ampun! Kenapa kamu ada disini? Dan penampilanmu ini..”

“Aku diculik oleh sahabatku, Aira..” Kataku serak.

“Aira?! Sahabatmu yang sering datang kerumah itu?” Dia terkejut.

“Ya..” Aku mulai menangis. Kegundahan, sakit hati karena pengkhianatan dan kebohongan serta perasaan kehilangan yang kutekan mengalir keluar tanpa bisa kuhentikan.

Dia mengusap-ngusap kepalaku. Tangannya sungguh hangat dan menenangkan “Sudah.. Sudah.. Ayo naik ke taksi lagi.. Kita harus segera mengobati luka dilututmu itu” Ternyata rok panjangku mulai berwarna merah dibagian lutut. Aku tidak menyadarinya sebelumnya. Lalu kami masuk kedalam taksi dan akupun tertidur.

Aku membuka mataku dan bisa kulihat langit-langit yang sama dengan langit-langit yang kulihat sebelumnya ditempat Aira menyekapku. Aku bingung. Seingatku aku berada di taksi bersama Nilam. Apa itu hanya mimpi? Lalu aku membalikkan badanku dan melihat jendela yang kurusak itu. Kaca jendela itu hanya tersisa di pinggiran dan disitu darah menetes, rupanya aku tergores disitu. Aku menyibakkan rokku dan melihat lututku yang berdarah.

“Itu memang bukan mimpi! Bukti-buktinya terlalu jelas!” Batinku dalam hati. Sebuah pertanyaan muncul didalam kepalaku “Lalu kenapa aku ada disini? Dan dimana Nilam sekarang?”

Aku berpikir sesaat dan sebuah kesimpulan yang mengerikan terbentuk dikepalaku. Tetapi, sebelum aku sempat memikirkannya, pintu dihadapanku terbuka dan Nilam muncul dibelakang Aira.

“Nilam, kau juga?” Bisikku menahan kepedihan.

“Tentu saja bodoh! Kalau tidak mana mungkin kamu berada disini sekarang.” Katanya maju ke depan.

“Mengapa?” Rasanya aku sudah terlalu banyak mengucapkan kata-kata ini.

“Aku dan dia adalah komplotan sejak awal dan aku masuk menjadi pengasuhmu untuk jaga-jaga kalau terjadi masalah dengan dia dan posisinya.” Jelas Nilam.

Aku terdiam. Mereka melihatku dan pergi meninggalkanku sendirian di dalam ruangan ini setelah meletakkan nampan berisi makanan.

“Tolong aku, Argadhana…” Aku sudah tidak tahu lagi apa yang kukatakan.. Kalau dipikir-pikir siapa Argadhana? Nama yang kuucapkan secara spontan.

Kutunggu selama 1 jam dan dia tidak juga datang.. 2 jam, aku masih terus berharap.. 3 jam, aku sudah mulai lelah menunggu.. Dan setelah total 4 jam, aku menyerah. Ternyata dia hanyalah khayalanku. Tak lebih dari sekedar omong kosong belaka.

“Inikah hidup yang kau berikan padaku, Tuhan?” Bisikku. Aku mulai merasakan perasaan yang aneh yang menekan dadaku. Tak terasa sakit.. Tetapi terasa aneh. Bagaikan warna yang tercampur aduk dan berputar-putar. Aku mulai merasa ingin tertawa. Apa aku mulai gila? Keinginan untuk tertawa sekeras-kerasnya muncul disaat seperti ini. Ketika aku diberitahukan kenyataan bahwa kata-kata sayang, persahabatan dan kepedulian yang diucapkan oleh 2 orang yang terpenting dalam hidupku adalah kebohongan semata. Perasaan aneh itu menguat di dadaku dan keinginan untuk tertawa muncul kembali dengan kekuatan yang dahsyat.

Jika aku memang sudah mulai gila, itu bagus. Setidaknya aku bisa melarikan diri dari semua kenyataan yang kejam ini.. Kesadaranku menipis dan akupun kembali tertidur.

G+

0 komentar:

Post a Comment