Love Destiny (Episode 1)



Aku sedang berlari dalam hutan.. Menggenggam tangan lembut seorang perempuan.. Siapa dia? Mengapa kami berlari seperti ini? Siapa yang mengejar kami? Aku tidak mengerti!

Jleb...

Ah, apa ini? Sakit.. Sesuatu menembus dadaku.. Aku meletakkan tanganku ke dadaku dan merasakan sesuatu yang hangat merembes membasahi pakaianku..

Jleb.. Jleb.. Jleb...

Ada yang ditembakkan dari arah belakang.. Lagi.. Dan lagi.. Tenagaku terasa terkuras habis.. Aku mulai mati rasa.. Aku jatuh ke tanah yang dingin.. Tetesan-tetesan air jatuh membasahi wajahku.. Apa ini? Rasanya asin.. Air mata kah? Aku berkonsentasi dan melihat air mata yang jatuh dari wajah perempuan itu.. Aku tidak mengenal siapa dia.. Dan aku juga tak dapat melihat wajahnya.. Bukan hanya sekarang.. Tetapi semenjak tadi.. Satu hal yang kutahu aku tidak ingin melihat air matanya..
Aku mengangkat tanganku dengan susah payah “Ja.. nga.. n mena..ngis…, _____”
Aneh.. Aku yakin aku menyebutkan suatu nama.. Tapi apa? Tidak terdengar.
“______ __________ ___ _______ !! ______ _____, Argadhana !!”

-***-

Aku membuka mata mencoba melihat keseliling namun pandanganku masih sedikit buram. Aku berada di kamarku terbangun dengan tubuh penuh dengan keringat. Bahkan sampai membasahi kasurku.

Aku duduk sembari memegang kepalaku, “Sial!! Mimpi itu lagi!! Sampai kapan aku harus dihantui mimpi ini?!”

Itu adalah mimpi yang terus-menerus kudapatkan sejak aku berusia 4 tahun. Jujur saja, aku benci mimpi ini. Karena setiap kali aku bangun darinya, aku pasti akan merindukan seseorang yang aku tidak tahu dan bahkan tidak kumengerti maksudnya. Sangat menyebalkan!! Apalagi aku pernah dipermalukan karena mimpi ini.

Ini terjadi saat aku berumur 4 tahun, waktu itu aku tengah bermain dengan teman-temanku tanggal 11 Januari 1999. Tanpa kusadari pipiku telah basah karena air mata. Aku merasakan kehadiran seseorang di dalam hatiku yang berkata ‘Aku datang’ dan bahagia karenanya.. Lalu aku mulai berbicara sendiri dalam bahasa yang tidak kupahami dan aku tidak bisa menghentikannya. Aku menangis dan mendadak kehilangan kesadaran. Itulah ketika pertama kalinya aku mendapatkan mimpi ini.

Mimpi itu menjadi semakin jelas seiring dengan bertambahnya usia ku. Dulu, semuanya tidak jelas dan tidak ada suara apapun yang terdengar tapi sekarang, aku malah bisa mendengar sebuah kata yaitu Argadhana, kedengarannya sebuah nama. Aku merasa sangat familiar dengan nama itu.

Aku menoleh untuk melirik jam dinding yang ternyata sudah menunjukkan pukul 10.30 “Gawat!! Hari ini aku kuliah pagi!!” Aku pun bergegas.

Namaku Rey atau setidaknya aku menyebut diriku begitu. Bersekolah di Universitas Kedokteran di Indonesia, semester 2. Hidup sebatang kara. Saat aku berusia 11 tahun, ayahku yang merupakan seorang pejabat dibunuh bersama dengan ibu dan kedua adikku. Tapi aku berhasil bertahan dan selamat dari insiden itu. Sejak saat itu kehidupanku berubah drastis. Aku hidup dijalanan dan melakukan berbagai kejahatan seperti mencuri, mencopet, dan bahkan membunuh hanya untuk bertahan hidup. Jakarta merupakan kota yang keras. Anak-anak yang bernasib sepertiku sangat banyak jumblahnya.

Saat berusia 14 tahun, aku mendapatkan pekerjaan sebagai kuli bangunan. Saat itu pula aku mulai menyebut diriku Rey dan mengaku sebagai anak yatim piatu, walaupun itu memang benar. Aku melanjutkan sekolahku mulai dari sini. Dan aku berhasil hingga masuk kuliah.

-Universitas... seusai kuliah....

“Dasar dosen sialan!” Makiku gusar, “Dia memberiku tugas tambahan membuat skripsi sebanyak 5.000 kata!”

“Hoi.. Hoi.. Jangan menyalahkan dia.. Kamu sendiri yang datang terlambat kan?” Kata temanku Gyro, yang duduk didepanku.

“Diam kau!!” Aku menamparnya dengan buku tulis.

Gyro malah tertawa dan mengangkat tangannya lalu melakukan gerakan mengunci mulut kemudian diam. Itu melegakan. Aku tidak ingin menghajarnya disaat aku sedang kesal. Bisa-bisa jati diriku bisa terbongkar. Satu lagi rahasiaku. Sekarang aku lumayan terkenal di dunia bawah. Kau tahu maksud dunia bawah kan? Ini adalah dunia dimana segala tindakan ilegal dilakukan. Aku memiliki reputasi sebagai pembunuh bayaran disana dengan code name Rune. Cara untuk mengontakku mudah saja. Cukup dengan mendekatiku dan membicarakannya di halte dekat kampus pada pukul 05.00 p.m sampai 07.00 p.m.

“Aku akan pergi ke tempat biasa.” Kataku pada Gyro.

“Ok. Kabari saja jika sudah sepakat.” Jawabnya melambaikan tangan sambil acuh-tak acuh padaku.

Oh ya, aku lupa mengatakan bahwa Gyro adalah rekan sekerjaku. Kami bertemu sebulan setelah aku mulai memasuki dunia bawah. Code name-nya ‘Rust’ yang katanya nama asal-asalan yang dia pikirkan waktu itu. Pokoknya, semenjak pertemuan kami satu setengah tahun yang lalu, kami sering bertemu saat bekerja dan setelah 3 bulan lamanya dia menawarkan diri untuk menjadi partnerku dan aku menyetujuinya.

Aku bersandar di dinding depan kuil, membaca novel ringan dan memikirkan mimpiku tadi pagi.

“Arga..dhana... Nama itu terasa familiar sekali.. Siapa sih itu?” Pikirku sampai seorang lelaki yang kira-kira berusia paruh baya duduk di sampingku.

Ia tersenyum ramah “Sedang menunggu seseorang ya?” katanya.

Aku juga tersenyum “Ya, biasanya dia atau teman-temannya datang sekitar jam begini. Tapi sampai sekarang belum ada yang datang”

“Terdengar merepotkan.”

“Bapak sendiri juga sedang menunggu seseorang?”

“Tidak, kok. Saya hanya ingin duduk di sini saja."

“Begitukah? Oh ya, nama saya Rune. Kalau boleh saya tahu, nama bapak siapa ya?”

“Panggil saja Darson. Ngomong-ngomong aku suka warna merah.” Katanya tertawa.

“Bapak Darson suka merah, ya? Aku juga suka. Walau rasanya kok tidak nyambung, ya?”

“Kamu anak yang lucu.”

“Terima kasih, anda juga.”

Kami saling diam sejelak sebelum orang itu melanjutkan “Apakah kamu tahu Don Sugiono?

“Aah, politikus terkenal itu ya? Yang katanya orang dengan kemungkinan paling besar untuk menjadi Presiden berikutnya.”

“Iya.. Dia hebat bukan? Aku mengaguminya.”

“Dia memang hebat.. Perkembangan karier yang cepat dan idealismenya yang baik sangat disukai masyarakat.”

“Ya.. Dia memang hebat.. Coba kalau anakku bisa menjadi seperti dia.. Sekarang dia malah pergi merantau dan menelpon hanya setiap sabtu.“

“Terdengar merepotkan.” Aku meniru kata-katanya.

“Begitulah... Ah, sudah lumayan larut, aku harus pulang... Kami punya acara di Hotel kelapa pukul 07.30. Hari ini hari ulang tahun anakku. Senang bisa bertemu dan bercakap-cakap denganmu, Rune. Bagaimana kalau kita bertemu lagi lusa pada jam yang sama?”

“Ya, tidak masalah” Aku tersenyum padanya dan dia berjalan pergi. Setelah sosoknya menghilang, aku segera menghubungi Gyro.

“Halo... Rust!” kataku melalui telepon genggam.

“Rust disini.” Gyro menjawab.

“Kita sudah sepakat, bersiaplah.”

“Woooo... akhirnya aku bisa sedikit berolah raga.”

Aku berbicara dengan suara pelan, “Targetnya politikus, Don Sugiono. Batas waktu besok. Dia akan pergi ke hotel kelapa besok pukul 07.30 untuk merayakan ulang tahun anaknya. Order; Red.”

“Red? Urgent and important, ya?”

“Ya. Dia akan menghubungi kita lagi lusa”

“Baiklah, aku akan berbenah dulu.” Gyro menutup teleponnya..

Tak lama kemudian, akupun pulang. Sesampainya di apartemen, aku langsung tidur. Entah mengapa aku merasa sangat lelah. Dalam tidurku, mimpi itu muncul lagi dan keadaanku setelah bangun selalu sama seperti sebelumnya, basah.

“Lagi-lagi..” Aku terengah-engah. Lantas aku ambil jimat milikku yang telah aku simpan di laci meja. Sebuah kantong hitam kecil dengan tali panjang berwarna hitam yang seolah dibuat agar bisa di kalungkan. Aku membuka kantong kecil itu dan membalikkannya. Jatuh sepasang cincin emas bertatahkan berlian dan rubi. Yang satu besar dan yang satunya kecil. Aku mengambil yang besar dan memasangkannya di jari manisku. Cincin itu melekat pas di jariku seakan-akan memang dibuat untukku. Cincin pasangannya kemungkinan besar adalah cincin untuk wanita. Sebenarnya, benda-benda ini menjadi jimat bagiku karena aku terlahir dengan kantung ini yang melingkar di leherku. Ini sangatlah berharga bagiku. Tidak pernah terlintas dipikiranku untuk menjual benda ini bahkan pada saat dimana aku sangat kelaparan sekalipun.

“Haaah, entah mengapa aku selalu merasa tenang setiap kali memegang benda ini.. Terasa seperti terhanyut kedalam sesuatu yang indah walau tidak kupahami” Dan aku tertidur sambil memegang benda itu.

Keesokan harinya tidak ada yang khusus yang terjadi padaku sampai pada pukul 02.00 malam. Aku merasakan ketakutan yang amat sangat.. Aku tidak mengerti mengapa aku merasakan ini. Aku hanya sedang makan dengan Gyro ketika perasaan ini muncul. Aku gelisah dan juga merasakan keinginan yang kuat untuk pergi ke suatu tempat dan menemui seseorang.

Seseorang yang istimewa. Tapi... siapa?

Perasaan itu terus memberatkan hatiku. Bahkan semakin lama semakin kuat. Perasaan ini tak kunjung hilang walau waktu sudah berlalu 5 jam.

“Setengah jam lagi target akan bergerak.. Ayo pergi..” Kata Gyro melihat jam tangannya.

“Ya” Lalu aku mengikutinya berjalan keluar dari gedung universitas dengan perasaan yang berat dan terasa sesak didada.

Kami mengintai dari atap gedung sebelah timur dari kediamannya. Ketika kami melihat bahwa sebentar lagi target akan bergerak, kami segera turun dan mengikutinya.

“Kita akan menghabisinya sesaat setelah mereka masuk ke tempat parkir.”

“Roger...”

Kami terus mengikutinya dan memarkir mobil kami sedikit lebih jauh dari hotel kelapa. Ketika mereka masuk ke garasi dan keluar dari mobil setelah memarkirnya, kami langsung bergerak cepat.

Politikus itu dilindungi oleh 6 bodyguard bersenjata tapi itu sama sekali bukan masalah bagi kami.

“Pas sekali.. Bodyguardnya 6 orang. Kita bagi 2.. Aku 3 dan kamu 3.. Kita berlomba siapa yang dapat membunuh target lebih cepat kali ini.. Setuju?” Tantangku.

“Banget men!” Kami berjabat tangan sambil menyeringai.

G+

0 komentar:

Post a Comment