
ء يا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَذَرُوا مَا بَقِيَ مِنَ
الرِّبَا إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ (278) فَإِنْ لَمْ تَفْعَلُوا
فَأْذَنُوا بِحَرْبٍ مِنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَإِنْ تُبْتُمْ
فَلَكُمْ رُءُوسُ أَمْوَالِكُمْ لَا تَظْلِمُونَ وَلَا تُظْلَمُونَ(279) فَإِنْ لَمْ 279
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan
tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang
benar benar beriman. Jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa
riba), maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan
jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu;
kamu tidak Menganiaya dan tidak (pula) dianiaya (Q.S. Al Baqarah: 278-279).
Dosanya adalah mendapat ancaman peperangan dari Allah dan Rasul-Nya.
Hanya ini (riba, pen) yang mendapat ancaman dari dua itu (Allah dan
Rasul-Nya). Hal lain yang mendapat ancaman peperangan dari Allah, yaitu
seperti yang tercantum di Hadits Arba’in: “Barang siapa memusuhi
wali-Ku, maka Aku umumkan perang kepadanya…”
Riba termasuk kedalam aniaya/zalim (dzolim) secara realitasnya, meskipun
yang terzalimi merasa terbantu dan merasa terbantu ini adalah subjektif.
Bagaimanapun juga, mengambil tambahan (dalam perutangan, red) itu
adalah zalim, meskipun sukarela. Riba memang sukarela, kalau tidak
sukarela, maka itu perampokan/perampasan.
Sungguh suatu kemurahan dan kasih sayang dari Allah, jika bertaubat
dari riba, boleh mengambil pokok tanpa peranakannya/bunganya. Kita tidak
diwajibkan memutihkan utang tersebut. Kita tidak perlu membuang semua
dari perutangan yang mengandung riba, masih diperbolehkan mengambil
harta yang pokok/asli.
Allah subhanahu wata’ala juga berfirman:
الَّذِينَ يَأْكُلُونَ الرِّبَا لا
يَقُومُونَ إِلا كَمَا يَقُومُ الَّذِي يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطَانُ مِنَ
الْمَسِّ ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ قَالُوا إِنَّمَا الْبَيْعُ مِثْلُ الرِّبَا
وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا فَمَنْ جَاءَهُ مَوْعِظَةٌ
مِنْ رَبِّهِ فَانْتَهَى فَلَهُ مَا سَلَفَ وَأَمْرُهُ إِلَى اللَّهِ
وَمَنْ عَادَ فَأُولَئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ(275)(الاؤسش275
“Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang
yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka
yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat),
Sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah
menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. orang-orang yang telah
sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari
mengambil riba), Maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum
datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. orang yang
kembali (mengambil riba), Maka orang itu adalah penghuni-penghuni
neraka; mereka kekal di dalamnya.” (QS. Al-Baqarah: 275).
(يَمْحَقُ اللَّهُ الرِّبَا وَيُرْبِي الصَّدَقَاتِ ۗ وَاللَّهُ لَا يُحِبُّ كُلَّ كَفَّارٍ أَثِيمٍ(276
“Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah. Dan
Allah tidak menyukai setiap orang yang tetap dalam kekafiran, dan selalu
berbuat dosa.” (Q.S. Al-Baqarah: 276).
Memakan riba maksudnya adalah mengambil dan menerima riba, tidak
hanya terbatas pada menggunakannya untuk makan, tetapi juga untuk
membeli pakaian dan lainnya. Para Ulama mengatakan bahwa pemakan riba nanti
ketika bangkit dari kubur, jalannya sempoyongan.
Allah
memusnahkan/menghancurkan keuntungan riba, padahal dianggap baik oleh
manusia. Pikiran manusia, jika meribakan uangnya, maka akan mendapat
tambahan, akan tetapi Allah mengatakan akan menghancurkannya. Pikiran
manusia, jika menyedekahkan hartanya maka akan membuat berkurang, akan
tetapi Allah mengatakan akan menyuburkan sedekah.
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ – رضى الله عنه –
عَنِ النَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – قَالَ « اجْتَنِبُوا السَّبْعَ
الْمُوبِقَاتِ » . قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ ، وَمَا هُنَّ قَالَ «
الشِّرْكُ بِاللَّهِ ، وَالسِّحْرُ ، وَقَتْلُ النَّفْسِ الَّتِى حَرَّمَ
اللَّهُ إِلاَّ بِالْحَقِّ ، وَأَكْلُ الرِّبَا ، وَأَكْلُ مَالِ
الْيَتِيمِ ، وَالتَّوَلِّى يَوْمَ الزَّحْفِ ، وَقَذْفُ الْمُحْصَنَاتِ
الْمُؤْمِنَاتِ الْغَافِلاَتِ » .
Dari Abu Hurairah, Nabi bersabda, “Jauhilah tujuh dosa yang
membinasakan!”. Para shahabat bertanya, “Apa saja tujuh dosa itu wahai
rasulullah?”Jawaban Nabi, “Menyekutukan Allah, sihir, menghabisi nyawa
yang Allah haramkan tanpa alasan yang dibenarkan, memakan riba, memakan
harta anak yatim, meninggalkan medan perang setelah perang berkecamuk
dan menuduh berzina wanita baik baik(yang menjaga dirinya)” [Muttafaq
‘alaih].
Menjauhi itu lebih dari sekadar meninggalkan, yakni juga meninggalkan setiap sarana yang mengantarkan ke hal itu.
Memakan riba larangannya adalah mutlak. Memakan harta anak
yatim terlarang jika zalim. Misalkan orang tuanya miskin, maka hal ini
boleh terutama bagi ibu, jika suaminya meninggal, lalu pembagian
warisnya tidak tepat (ibu mendapat warisan berlebih, red), ibu itu
berarti (berpotensi) memakan harta anak yatim. Hal ini juga menunjukkan
pentingnya pembagian waris dengan tepat.
عَنْ جَابِرٍ قَالَ لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ
-صلى الله عليه وسلم- آكِلَ الرِّبَا وَمُوكِلَهُ وَكَاتِبَهُ
وَشَاهِدَيْهِ وَقَالَ هُمْ سَوَاءٌ
Dari Jabir, Rasulullah melaknat orang yang memakan riba, nasabah
riba, juru tulis dan dua saksi transaksi riba. Nabi bersabda, “Mereka
itu sama[1]” [H.R. Muslim].
Laknat artinya adalah dijauhkan dari kasih sayang Allah
subhanahu wata’ala (tidak Allah sayangi). Kaidah dalam masalah ini yaitu
setiap perbuatan yang ditakut-takuti/diancam dengan laknat adalah dosa
besar.
عن عبد الله : عن النبي صلى الله عليه و سلم قال : الربا ثلاثة و سبعون بابا أيسرها مثل أن ينكح الرجل أمه
Dari Abdullah bin Mas’ud, Nabi bersabda, “Riba itu memiliki 73 pintu. Dosa riba yang paling ringan itu semisal dosa menzinai/menyetubuhi ibu sendiri” [H.R. Hakim].
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ حَنْظَلَةَ
غَسِيلِ الْمَلاَئِكَةِ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- «
دِرْهَمُ رِباً يَأْكُلُهُ الرَّجُلُ وَهُوَ يَعْلَمُ أَشَدُّ مِنْ
سِتَّةٍ وَثَلاَثِينَ زَنْيَةً
Dari Abdullah bin Hanzholah[2],
Rasulullah bersabda, “Satu dirham uang riba yang dinikmati seseorang
dalam keadaan tahu bahwa itu riba dosanya lebih jelek dari pada berzina
36 kali” [HR Ahmad].
عَنْ ابْنِ مَسْعُودٍ عَنْ النَّبِيِّ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَا أَحَدٌ أَكْثَرَ مِنْ
الرِّبَا إِلَّا كَانَ عَاقِبَةُ أَمْرِهِ إِلَى قِلَّةٍ
Dari Ibnu Mas’ud, Nabi bersabda, “Tidaklah seorang itu memperbanyak harta dari riba kecuali kondisi akhirnya adalah kekurangan/kemiskinan” [H.R. Ibnu Majah].
Macam-macam Riba
Pada dasarnya, riba terbagi menjadi dua macam: riba karena penundaan dan riba karena selisih/kelebihan.
Riba karena penundaan=nasi’ah (النّسيئه) dapat
diartikan dengan tambahan yang disyaratkan yang diambil/diterima dari
orang yang diutangi sebagai kompensasi dari penundaan pelunasan
(termasuk di dalamnya riba jahiliyah). Riba ini bisa terjadi karena
penundaan saja atau penundaan sekaligus dengan tambahan.
Riba jahiliyah adalah salah satu model riba, yaitu ketika
jatuh tempo, tidak bisa melunasi, lalu jatuh tempo ini diundur, dengan
syarat ada penambahan pembayaran. Namun, jika dapat dilunasi pada saat
jatuh tempo yang pertama, maka tidak ada penambahan. Ini model rentenir
jahiliyah.
Riba modern lebih kejam daripada riba jahiliyahnya orang jahiliyah.
Riba modern, dari jatuh tempo pertama sudah diwajibkan membayar
tambahan. Kalau riba jahiliyah, jatuh tempo pertama gratis dari uang
administrasi dan semacamnya. Riba modern, belum terima uang sudah harus
bayar. Misal, pinjam lima juta rupiah, dapatnya empat juta lima ratus
ribu. Baru menerima, sudah langsung terkena ribanya, dianggapnya utang
lima juta rupiah.
Riba jenis ini haram berdasarkan Quran, Sunnah, dan ijma’ umat Islam.
Riba karena selisih=riba fadhl ((الفضل), ini
terdapat dalam dunia perdagangan, tepatnya pada barter, akan tetapi
tidak semua barter, hanya barter pada barang-barang tertentu saja
(komoditas ribawi). Yakni barter uang dengan uang atau bahan makanan
dengan bahan makanan, dengan ada penambahan.
Riba ini haram berdasarkan hadits dan ijma’. Pada awalnya ada
ikhtilaf, yakni Ibnu Abbas membolehkannya, tetapi akhirnya beliau rujuk
dan meralat pendapatnya, dan hasilnya ulama sepakat bahwa ini tidak
boleh, riba ini dinilai menjadi sarana menuju riba nasi’ah.
Tidak terjadi riba dalam dunia barter kecuali dengan enam benda
ribawi. Dalam hadits hanya ada enam benda ribawi. Ada perselisihan
apakah riba hanya pada enam benda tersebut atau bisa dilebarkan ke benda
yang lainnya. Pendapat yang lebih kuat adalah enam benda tersebut bisa
dilebarkan kepada benda yang sejenis dan semisal.
Enam jenis benda ribawi tersebut adalah emas, perak, gandum bur, gandum sa’ir, kurma, dan garam. Hal ini sebagaimana hadits:
عَنْ عُبَادَةَ بْنِ الصَّامِتِ قَالَ قَالَ
رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « الذَّهَبُ بِالذَّهَبِ
وَالْفِضَّةُ بِالْفِضَّةِ وَالْبُرُّ بِالْبُرِّ وَالشَّعِيرُ
بِالشَّعِيرِ وَالتَّمْرُ بِالتَّمْرِ وَالْمِلْحُ بِالْمِلْحِ مِثْلاً
بِمِثْلٍ سَوَاءً بِسَوَاءٍ يَدًا بِيَدٍ فَإِذَا اخْتَلَفَتْ هَذِهِ
الأَصْنَافُ فَبِيعُوا كَيْفَ شِئْتُمْ إِذَا كَانَ يَدًا بِيَدٍ
Dari Ubadah bin Shamit, Rasulullah bersabda, “Jika emas dibarter
dengan emas, perak dibarter dengan perak, gandum burr dibarter dengan
gandum burr, gandum sya’ir dibarter dengan gandum sya’ir, kurma dibarter
dengan kurma, garam dibarter dengan garam maka takarannya harus sama
dan tunai. Jika benda yang dibarterkan berbeda maka takarannya sesuka
hati kalian asalkan tunai.” [H.R. Muslim].
Maka emas jika dibarter dengan emas, tidak boleh melihat karat, tidak boleh melihat kualitas, yang dilihat hanya takaran/timbangan,
dan menurut pendapat yang paling kuat, tidak juga melihat bentuk, entah
berbentuk batangan ataupun perhiasan. Kalau ingin dibarter, menurut
aturan syariat, harus rela seperti itu. Lima gram emas dibarter dengan
lima gram emas, meskipun kualitas berbeda. Jika tidak rela, mungkin
karena harganya berbeda, maka jangan dibarter. Silakan jual emas
tersebut, lalu uang yang didapat gunakan untuk membeli seperti apa yang
diinginkan.
Demikian juga perak dengan perak. Namun jika emas dengan perak, maka
boleh berbeda takaran/timbangannya, tetapi keduanya tetap harus
diserahkan pada saat itu juga. Maka jika terdapat barter, bendanya
sejenis, maka ada dua yang dilarang, yaitu haram adanya selisih dan
haram adanya penundaan. Maka tidak boleh tidak, harus ada kesamaan dalam
timbangan dan waktu penyerahan dengan menutup mata terhadap kualitas.
Meskipun beda karat itu dianggap beda dalam pandangan manusia, akan
tetapi hal itu tidak dianggap dalam pandangan syariat.
عَنْ أَبِى سَعِيد الخُدري – رضى الله عنه –
أنَّ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – قَالَ لاَ تَبِيعُوا
الذَّهَبَ بِالذَّهَبِ إِلَّا مِثْلًا بِمِثْلٍ، وَلاَ تُشِفُّوا بَعْضَهَا
عَلَى بَعْضٍ، وَلاَ تَبِيعُوا الوَرِقَ بِالوَرِقِ إِلَّا مِثْلًا
بِمِثْلٍ، وَلاَ تُشِفُّوا بَعْضَهَا عَلَى بَعْضٍ، وَلاَ تَبِيعُوا
مِنْهَا غَائِبًا بِنَاجِزٍ
Dari Abu Sa’id Al Khudri radhiyallahu’anhu, Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Janganlah kalian menjual emas
dengan emas, kecuali beratnya sama (semisal dengan semisal). Jangan
melebihkan berat yang satu melebihi berat lainnya. Janganlah kalian
menjual perak dengan perak, kecuali beratnya sama. Jangan melebihkan
berat yang satu melebihi berat lainnya. Dan janganlah menukar emas-perak
yang satu tunai sementara yang satu terutang/tertunda.” [HR. Bukhari].
عَنْ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا عَنْ
النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: الذَّهَبُ
بِالذَّهَبِ رِبًا إِلَّا هَاءَ وَهَاءَ الْبُرُّ بِالْبُرِّ رِبًا إِلَّا
هَاءَ وَهَاءَ وَالشَّعِيرُ بِالشَّعِيرِ رِبًا إِلَّا هَاءَ وَهَاءَ
وَالتَّمْرُ بِالتَّمْرِ رِبًا إِلَّا هَاءَ وَهَاءَ
Dari ‘Umar radhiyallaahu ‘anhumaa, Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wa sallam bersabda: “Emas ditukar dengan emas adalah riba
kecuali dengan kontan, gandum bur ditukar dengan gandum bur adalah riba
kecuali secara kontan, gandum sya’iir/jewawut ditukar dengan gandum
sya’iir adalah riba kecuali secara kontan, dan kurma ditukar dengan krma
adalah riba kecuali secara kontan” [Muttafaq ‘alaih].
Dari Abu Sa’id, ia berkata, “Pada masa Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam kami pernah diberi kurma jama’ (yaitu) kurma campuran
(antara yang bagus dengan yang jelek), maka kami menjualnya dua sha’
dengan satu sha’. Berita tersebut sampai kepada Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam maka beliau bersabda:
لاَ صَاعَيْ تَمْرٍ بِصَاعٍ وَلاَ صَاعَيْ حِنْطَةٍ بِصَاعٍ وَلاَ دِرْهَمَ بِدِرْهَمَيْنِ.
“Janganlah menjual dua sha’ kurma dengan satu sha’ dan jangan
pula menjual dua sha’ gandum dengan satu sha’ dan jangan pula satu
dirham dengan dua dirham.” [Muttafaq ‘alaih]
Namun jika jenis dari enam benda ribawi ini dibarter dengan yang
tidak sejenis, misalnya emas dengan perak, gandum bur dengan gandum
sya’iir, maka boleh ada selisih takaran/timbangan dengan syarat semuanya
harus diserahkan dalam majelis/kontan. Hal ini berdasarkan sabda Nabi
shallallahu ‘alaihi wasallam pada hadits ‘Ubadah yang telah lewat: “Jika
benda yang dibarterkan berbeda maka takarannya sesuka hati kalian
asalkan tunai.”
Hal ini juga karena sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam
hadits ‘Ubadah yang terdapat dalam riwayat Abu Dawud dan yang lainnya:
وَلاَ بَأْسَ بِبَيْعِ الذَّهَبِ
بِالْفِضَّةِ، وَالْفِضَّةُ أَكْثَرُهُمَا, يَدًا بِيَدٍ, أَمَّا
نَسِيْئَةُ فَلاَ, وَلاَ بَأْسَ بِبَيْعِ الْبُرِّ بِالشَّعِيْرِ،
وَالشَّعِيْرُ أَكْثَرُهُمَا يَدًا بِيَدٍ، وَأَمَّا نَسِيْئَةُ فَلاَ.
“Tidak mengapa menjual emas dengan perak dengan jumlah perak
lebih banyak (apabila) langsung serah terima/kontan, adapun dengan cara
nasi’ah (ditangguhkan serah terimanya), maka tidak boleh. Dan tidak
mengapa menjual gandum bur dengan sya’ir dengan jumlah sya’ir lebih
banyak (apabila) langsung serah terima, adapun dengan cara nasi’ah maka
tidak boleh.” [H.R. Abu Dawud]
Dari enam benda ribawi tadi dapat dikelompokkan menjadi dua. Kelompok
pertama terdiri dari emas dan perak. Kelompok kedua terdiri dari bahan
makanan. Beda kelompok dalam istilah fiqih dikenal dengan beda illat.
Kelompok 1:
- Emas
- Perak
Kelompok 2:
- Gandum bur
- Gandum sya’ir
- Kurma
- Garam
Jika barter beda kelompok, maka dua aturan tadi tidak berlaku.
Timbangannya boleh berbeda dan tidak harus semuanya saat itu juga, boleh
salah satu diserahkan belakangan.namun tidak boleh dua-duanya tidak
ada, dan ini adalah aturan jual beli secara umum, baik benda
ribawi maupun bukan benda ribawi. Jika keduanya diserahkan tertunda maka
jual belinya batal/tidak sah, dengan sepakat para ulama. Hal ini
disebut bai’ dain bid dain (jual beli tertunda dengan tertunda), jual beli ini haram dan transaksi tidak sah.
Dari ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma :
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اِشْتَرَى طَعَامًا مِنْ يَهُودِيٍّ إِلَى أَجَلٍ وَرَهَنَهُ دِرْعَهُ.
“Bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam membeli makanan (yakni
gandum) dari seorang Yahudi dengan (pembayaran) tempo, dan beliau
menggadaikan baju perangnya kepadanya.” [H.R. Bukhari]
Maka, benda ribawi yang ada dalilnya hanya enam. Menurut pendapat
yang kuat, enam benda ini bisa kita lebarkan kepada yang lain. Untuk
kelompok pertama kita lebarkan kepada mata uang dan masing-masing mata
uang itu jenis sendiri, rupiah sendiri, dolar sendiri. Untuk kelompok
yang kedua, kita lebarkan kepada semua yang dimakan dan cara
transaksinya ditakar atau ditimbang. Maka ponsel, motor, dan sebagainya
itu bukan benda ribawi.
Aturan mainnya ada tiga kaidah:
- Jika satu jenis, maka harus tutup mata dari kualitas, harus sama takaran dan timbangannya, dan harus saling menyerahkan saat transaksi dilakukan (tunai). Contoh: beras menthik wangi dengan raja lele, rupiah dengan rupiah.
- Lain jenis tapi satu kelompok, maka berbeda takaran tidak mengapa, tetapi semuanya harus diserahkan saat transaksi berlangsung. Contoh: rupiah dengan real, rupiah dengan emas, beras dengan jagung.
- Beda jenis dan antar kelompok, maka tidak harus sama takaran, dan boleh kredit atau salah satunya tertunda. Contoh: rupiah dengan beras.
Tidak diperbolehkan membarter kurma basah (ruthob) dengan kurma kering (tamr), kecuali untuk suatu transaksi yang bernama ‘aroya
(العرايا). ‘Aroya adalah orang-orang miskin yang tidak punya pohon
kurma. Maka boleh saja mereka membeli kurma dari pemilik kebun kurma
dalam kondisi basah dengan cara mereka menukarnya dengan kurma kering
dengan taksiran. Pada asalnya, kurma adalah benda ribawi, barternya
harus dengan takaran sama dan penyerahannya tunai, namun pada masalah
ini ada pengecualian.
Kurma basah biasanya dijadikan sebagai makanan pencuci mulut,
sedangkan kurma kering dijadikan sebagai makanan pokok. Orang miskin
yang hanya mempunyai kurma kering, tidak punya pohon kurma, tidak punya
uang, dan ingin membeli kurma basah maka diperbolehkan membarterkan
kurma keringnya dengan kurma basah dengan taksiran. Kurma basah, kalau
nanti kering, ditaksir jadi berapa. Misalkan kurma basah lima kilogram
jika kering menjadi tiga kilogram, maka boleh membarter kurma basah lima
kilogram dengan kurma kering tiga kilogram pada kasus ini.
Dari ‘Abdullah bin ‘Umar Radhiyallahu anhuma :
أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنِ الْمُزَابَنَةِ، وَالْمُزَابَنَةُ بَيْعُ
الثَّمَرِ بِالتَّمْرِ كَيْلاً وَبَيْعُ الْكَرْمِ بِالزَّبِيبِ كَيْلاً.
“Bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang
muzabanah (yaitu) menjual kurma basah dengan tamr (kurma kering) dengan
takaran dan menjual anggur basah dengan anggur kering dengan takaran.” [Muttafaq ‘alaih]
Muzabanah adalah barter kurma basah dengan kurma
kering, demikian juga barter anggur dengan kismis, dengan memakai
takaran. Maka pada dasarnya, barter kurma basah dengan kurma kering
adalah dilarang, tetapi ada keringanan untuk kasus ‘aroya.
Dari Zaid bin Tsabit Radhiyallahu anhu :
أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَخَّصَ لِصَاحِبِ الْعَرِيَّةِ أَنْ يَبِيعَهَا بِخَرْصِهَا مِنْ التَّمْرِ
“Bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberi
keringanan bagi shohibul ariyah untuk membeli kurma basah dengan
memperkirakan (takarannya) dengan tamr (kurma kering).” [Muttafaq
‘alaih]
Dari Sa’id bin Abi Waqqash Radhiyallahu anhu :
سُئِلَ عَنْ بَيْعِ الرُّطَبِ بِالتَّمْرِ
فَقَالَ أَيَنْقُصُ الرُّطَبُ إِذَا يَبِسَ؟ قَالُوْا: نَعَمْ فَنَهَى عَنْ
ذلِكَ أَنَّ النَّبِيَّ.
“Bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya tentang menjual
ruthab dengan tamr, maka beliau menjawab, ‘Bukankah ruthab akan
menyusut apabila mengering?’ Mereka menjawab, ‘Ya.’ Maka beliau
melarangnya.” [H.R. Abu Dawud, Ibnu Majah, an-Nasai, at-Tirmidzi]
Transaksi ‘aroya diperbolehkan dengan besaran yang dibatasi. Maksimal lima wasaq.
Tidak diperbolehkan barter benda ribawi dengan benda ribawi namun
bersama keduanya atau salah satunya terdapat jenis atau benda yang
lain.
عَنْ فَضَالَةَ بْنِ عُبَيْدٍ قَالَ
اشْتَرَيْتُ يَوْمَ خَيْبَرَ قِلَادَةً بِاثْنَيْ عَشَرَ دِينَارًا فِيهَا
ذَهَبٌ وَخَرَزٌ فَفَصَّلْتُهَا فَوَجَدْتُ فِيهَا أَكْثَرَ مِنْ اثْنَيْ
عَشَرَ دِينَارًا فَذَكَرْتُ ذَلِكَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ فَقَالَ لَا تُبَاعُ حَتَّى تُفَصَّلَ
Dari Fadhaalah bin ‘Ubaid, ia berkata : “Aku pernah membeli
sebuah kalung di hari (penaklukan) Khaibar seharga 12 dinar. Pada kalung
tersebut terdapat emas dan permata. Lalu aku pisahkan ia (emas dan
permata dari kalung), dan ternyata aku dapatkan nilainya lebih dari 12
dinar. Kemudian aku ceritakan hal itu kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi
wa sallam, dan beliau pun bersabda: “Janganlah kamu menjualnya sehingga
kamu memisahkannya (emas dari kalungnya)” [H.R. Muslim].
Ringkasnya, riba itu ada riba dalam utang piutang dan riba dalam perdagangan.
Riba dalam utang piutang adalah dengan bentuk riba jahiliyah atau
yang lebih jelek dari riba jahiliyah, seperti yang tadi didefiniskan
dengan tambahan yang disyaratkan yang diambil/diterima dari orang yang
diutangi sebagai kompensasi dari penundaan.
Berkaitan dengan definisi “tambahan yang disyaratkan”, artinya jika
tidak disyaratkan atau tambahan itu sukarela (inisiatif yang diutangi,
red), maka tidak mengapa. Sama saja antara disyaratkan secara lisan
maupun secara kebiasaan.
Tambahan tersebut diperbolehkan jika diserahkan di hari pelunasan
atau setelah hari pelunasan. Tambahan tersebut tidak boleh saat belum
lunas. Jika belum lunas, tetapi memberi tambahan, maka itu riba.
Ada riba investasi, tanam saham, penyertaan modal. Investasi itu
menjadi riba manakala orangnya mempersyaratkan uang diinvestasikan harus
aman. Kata “harus aman” menjadikan itu bukan investasi, melainkan
mengutangi. Mengutangi itu harus aman.
Riba dalam perdagangan, menggunakan kaidah-kaidah seprti yang telah dijelaskan sebelumnya.
_____________________________________
[1] Maksudnya adalah sama-sama berdosa, meskipun beda tingkatan dosanya.
[2] Hanzholah adalah sahabat Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam yang mendapat sebutan ghasilul malaikah (yang
dimandikan malaikat). Hal ini dikarenakan ketika ada panggilan perang,
Hanzholah sedang dalam kondisi jima’ dengan istrinya dan dia langsung
menghentikan kegiatannya seketika itu pula dan langsung berangkat tanpa
mandi junub terlebih dahulu. Dalam peperangan tersebut dia gugur sebagai
syahid dan tidak dijumpai jenazahnya. Kata Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam jenazahnya diambil oleh malaikat dan dimandikan oleh para malaikat.
Hadits-hadits pada artikel disalin dari web di yufid.com
0 komentar:
Post a Comment